Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Bagaimana Orangtua Memposisikan Anak sebagai Aset atau Investasi?

21 November 2020   07:24 Diperbarui: 28 Februari 2021   18:43 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bermain. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Anak merupakan kebanggaan keluarga. Setiap prilaku dan prestasi serta kesuksesan anak, bisa mempengaruhi status sosial orang tua di mata tetangga, kawan dan rekanan kerja, hingga keluarga besarnya.

Tidak jarang, soal eksistensi anak bisa dijadikan obyek pembicaraan yang membanggakan atau sebaliknya. Mulai dari cerita tempat sekolah/ponpes/kuliah, prestasi, hingga kenakalannya, hingga cerita keberasilan sekaligus cerita keprihatinannya.

Erik Erikson, seorang psikolog Jerman yang terkenal dengan teori perkembangan psiko-sosial, mengatakan bahwa persamaan ego merupakan perasaan yang berkembang dari interaksi sosial. Perkembangan ego berubah berdasarkan pengalaman, interaksi sosial, dan informasi informasi baru yang didapatkan.

Berdasarkan paparan teori perkembangan psiko-sosial di atas, tafsirnya bisa berarti bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi dengan latar belakang anak mendapat perlakuan, prilakunya dalam interaksi sosialnya, hingga bagaimana cara anak merespon informasi yang diperoleh.

Implikasinya dengan paparan di atas, maka pertanyaannya kemudian, bagaimana "seharusnya dan yang sebenarnya" setiap orang tua memosisikan anak? Apakah sebagai asset atau sebagai investasi?

Setidaknya cara penanganan yang dilakukan setiap orang tua akan berbeda, jika setiap orang tua menyadari dalam memosisikan anak sebagaimana harapannya dikemudian hari.

Anak sebagai Aset

Jika anak diposisikan sebagai aset, maka setiap tingkah pola anak akan diarahkan untuk menghasilkan materi dan prestasi. Targetnya jelas, meringankan beban ekonomi keluarga, dan kalau wujudnya prestasi bisa mengangkat status sosial keluarga.

Anak akan dipaksa bantu orang tua dengan berdagang misalnya, diajarkan cara bisnis online, kerja dikebun/sawah/ladang, atau dilibatkan dalam profesi yang digeluti orang tuanya.

Secara tidak langsung, orang tua telah mengeksploitasi anak dengan dalih meringankan beban keluarga dan untuk masa depan anak. Akibatnya, kebebasan dunia anak sesuai hak azasinya terampas. Praktik ini kadang tidak disadari para orang tua maupun anak itu sendiri.

Fenomena ini menjadi hal biasa di kampung terpencil. Anak dipaksa ikut bantu bekerja di sawah/ladang/kebun, sehingga harus meninggalkan bangku sekolah. Guru ditinggal muridnya ketika masa panen tiba, sehingga kelas terlihat kosong menjadi pemandangan yang biasa.

Jika direnungi, sejatinya tujuan akhir dari sekolah hingga perguruan tinggi untuk apa? Jawaban konvensionalnya, agar mudah dapat pekerjaan dan uang/gaji sebagai imbalannya. Untuk apa? memenuhi kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup keluarganya kelak.

Jika demikian tujuan dasarnya, maka perlu mereformasi ulang mengenai pemikiran dan keyakinan soal pentingnya sekolah relevansinya dengan penyiapan diri anak dalam menyongsong kelangsungan hidup dan kenidupan mereka dikemudian hari.

Saya pernah bertanya pada anak muda di sebuah kampung yang masyarakatnya relatif sejahtera karena lingkungan dan lahan sawah-ladangnya yang subur. Kenapa tidak melanjutkan sekolah setelah tamat SMP? Jawabnya singkat, gak ada waktu karena harus mencari rumput untuk pakan ternak sapi milik orang tua dan permintaan para tetangganya.

Setelah ditelisik lebih dalam, pendapatan mencari rumput sudah mampu memenuhi kebutuhan bulanan untuk bayar kredit motor, beli pulsa, biaya penampilan, hingga kebutuhan jajan (nongkrong sambil ngopi + rokok) dengan kawan sepermainannya.

Fenomena tentang profil anak putus sekolah di atas juga sama ceritanya, meski lokasi daerahnya tidak jauh dari ibukota kabupaten, propinsi, bahkan ibu kota negara. Khususnya daerah yang dijadikan pusat pengembangan industri rumah tangga (home industry).

Anak Sebagai Investasi

Beda halnya jika anak diposisikan sebagai investasi. Meski prestasi sekolah anak pas-pasan bahkan tidak memenuhi standar nilai yang ditetapkan sekolah, tetapi orang tua akan tetap menganjurkan/memaksa sekolah, berapapun konsekwensi biaya yang harus dikeluarkan.

Tanpa disadari, keberadaan anak menjadi korban ego dan kemauan orang tua. Anak kemudian diarah-arahkan sesuai kemauan orang tua, mengikuti berbagai jenis kursus, yang pada dasarnya anak dipaksa mengikuti keinginan dan harapan orang tua.

Proses belajar anak dikontrol dengan pengawasan secara berlebihan, berupaya melengkapi seluruh kebutuhan sekolah, pembatasan jam bermain, hingga anak kehilangan masa kecilnya yang seharusnya ceria dan bahagia selama proses pertumbuhan dan perkembangannya.

Pilihan sekolahpun harus sesuai keinginan/selera dengan segala pertimbangan subyektif orang tua. Bila perlu, orang tua mendekati guru wali kelas, dengan maksud "menitipkan" hingga meminta perbaikan nilai raport anaknya.

Orang tua dengan cara pandang konvensionalnya, masih meyakini, bahwa dengan sekolah hingga kuliah berikut ijazah yang diraihnya, kelak akan mudah dapat pekerjaan. Meski, dalam kenyataannya gaji yang diperolehnya ternyata kalah jumlah jika dibandingkan dengan pendapatan kawannya yang hanya lulus SMP.

Motivasi Untuk Anak

Era kekinian berlaku hukum pasar yang sangat kompetitif. Berbagai peluang berikut medianya telah tersedia dengan ragam pilihannya. Penguasaan keahlian secara spesifik dengan produk kreasi dan jaringan pertemanan yang luas, menjadi kunci keberhasilan seseorang.

Selain itu, dengan sikap pragmatis-oportunisnya, telah menjadi pilihan strategi pendekatannya menuju kesuksesan secara materiel. Membangun diri sebagai enterprneur petarung, menjadi syarat utamanya untuk bisa bersaing dan bertahan hidup.

Berdasarkan paparan fenomena di atas, maka hal apa yang harus disiapkan orang tua kepada anaknya? Pertanyaan ini sangat penting dan relevan untuk kondisi saat ini, sehingga mengharuskan ada petuah orang tua sebagai motivasi yang sudah ditanamkan sejak dini.

"Ayah tidak menuntut kamu harus pintar dan juara kelas, tetapi yang penting temanmu banyak dan bisa menerima kehadiranmu"

Dibalik mana kalimat diatas, sebenarnya ada pesan terselubung soal tanggung jawab untuk selalu jujur, selalu menepati janji, punya kepedulian kepada kawan, punya keahlian yang dibutuhkan kawan, hingga menyenangkan sebagai tempat bercerita dan berkeluh kesah.

Untuk memastikan anak bisa memaknai petuah di atas, juga harus dikenalkan contoh orang-orang sukses sebagai referensinya.

Misalnya sosok Bob Sadino, seorang pengusaha sukses meski pendidikannya hanya tamatan SMA. Untuk menuju tangga kesuksesannya, Bob Sadino mempercayai bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan.

Keberhasilan menjadi wirausaha yang mampu digapainya ternyata tidak semulus yang dikira sebelumnya. Baginya, uang bukan yang nomor satu, tetapi kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang adalah kunci menuju kesuksesannya.

Mendiang Eka Tjipta Widjaja juga demikian. Meskipun hanya lulusan sekolah dasar, beliau mampu mendirikan Sinar Mas Group dengan kehidupannya yang serba kekurangan dalam keluarganya. Ia harus merelakan pendidikannya demi membantu orang tua menyelesaikan utangnya kepada rentenir.

Sosok Susi Pudjiastuti juga patut diteladani. Pebisnis sukses di bidang perikanan yang hanya lulusan sekolah menengah pertama. Karena keberhasilannya, mendapat kepercayaan menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan masa kepemimpinan pertama Presiden Jokowi.

Ada juga sosok Basrizal Koto, pemilik harian Haluan Padang beserta jaringan pers lainnya yang juga tidak lulus SD. Dikarenakan patuh dengan pesan ibunya saat akan pergi merantau ke Riau yaitu, agar pandai-pandai berkomunikasi, memanfaatkan waktu luang dan kesempatan, serta bekerja dengan komitmen.

Sedangkan tokoh lain yang relevan adalah sosok Dahlan Iskan yang hanya lulusan Madrasah Aliyah. Dahlan Iskan mampu menyelamatkan Jawa Pos Group hingga dipercaya sebagai Menteri BUMN di era Soesilo Bambang Yudhoyono.

Pesannya kepada anak-anak muda pekerja di Harian DI's Way, agar memperbanyak pengetahuan tentang skill manajemen dan kepemimpinan, jangan hanya ingin melalui jalan pintas, semua butuh proses, dan harus menikmati selama proses berlangsung.

Salam, ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun