Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antitesis Perspektif Positif Omnibus Law Cipta Kerja

11 Oktober 2020   19:31 Diperbarui: 11 Oktober 2020   19:40 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tokoh filsafat Jean Rosseau yang mengenalkan teori kontrak social, mengatakan bahwa "hukum yang tidak adil adalah apabila hukum positif itu bertentangan dengan kepentingan umum".

Pernyataan Jean Rosseau ini, setidaknya ada relevansinya dengan tahapan proses hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang saat ini marak mendapat respon pro dan kontra dari berbagai kalangan warga masyarakat Indonesia.

Konsekwensi negara penganut sistem demokrasi, memposisikan rakyat sebagai konstituen politiknya wajib menerima produk politik berupa UU yang dinilai baik dan benar secara subyektif anggota legislative. Jika menolak karena ada sesuatu yang salah dan patut ditolak, negara menyediakan prosedur Judicial Review untuk menguji melalui Mahkamah Konstitusi.

Kehadiran UUCK ini, secara politik, diduga akan dimanfaatkan sebagai pintu masuk para pialang politik dengan agendanya masing-masing. Atau bagi subyek pelaku dan penikmat tertentu yang terkena dampak hilangnya imbalan tertentu. Maupun partai politik yang menyatakan tidak setuju pengesahannya.

Membangun opini public, berdemonstrasi, membuat pernyataan sikap, maupun tindakan politik lain menentang pelaksanaannya, tentu tidak bisa dihindarkan. Semuanya sah dan dibolehkan menurut UU. Meski demikian, dalam menyampaikan aspirasinya harus dengan cara elegan sesuai etika politik, tidak dengan cara memaksakan kehendak hingga memancing dan menimbulkan tindakan anarkis, tindakan kekerasan dan pengrusakan sarana publik.

Silang pendapat para pihak yang mewakili pro dan kontra terhadap keseluruhan material yang termaktub dalam UUCK, pada dasarnya masing-masing pihak menggunakan narasi dan argumen yang sama. Kedua kelompok bertumpu pada basis asumsi dengan perspektif tafsir/penafsiran berdasarkan kalkulasi kebenaran subyektifnya masing-masing.

Padahal, kalua ingin memastikan ada dan tidaknya pengaruh dampak (positif-negatif) penerapan sebuah peraturan perundangan, minimal rentang waktu tiga hingga lima tahun kemudian. Tentunya setelah ada kelengkapan peraturan turunannya (PP, Perpres, Permen, Perda).

Dalam teori kausalitas, tentu ada agenda politik besar dan fundamental dibalik semua itu. Apakah lembaga legislative mendapat pengaruh kelompok oligarki? Atau UUCK menjadi kebutuhan sangat mendesak dan mendasar untuk menarik investasi? Atau sebagai jawaban masalah lapangan kerja? Atau sebagai pranata hukum paling efekti menyelesaikan konflik tenurial yang sudah menaun dan bersifat laten?

Jika menelisik alasan DPR RI bersikukuh menetapkan UUCK, ditengarai karena tiga hal sedang diupayakan sebagai solusi untuk masalah (1) lapangan pekerjaan (perkotaan dan pedesaan), (2) investasi dan investor (pembangunan pabrik baru dan izin konsesi), dan (3) penyelesaian konflik tenurial (hutan/tambang/perikanan) yang sudah menaun bersifat laten.

Andai ada dugaan lolosnya UUCK ini karena keterlibatan kelompok Oligarki, maka praktik oligarki diduga kuat benar adanya. Mereka bergerak dengan sebuah konvensi, melakukan permufakatan dengan kesepakatan tak tertulis, tetapi praktiknya dijadikan rambu-rambu bagi/diantara para pelakunya.

Basis kekuatan praktik Oligarki, terletak pada modal/dana yang dimiliki. Ketersediaan modal/dana mereka sebagai alat perantara membayar siapa saja yang mau diperintah atau diajak kerjasama. Imbalan bagi kelompok Oligarki, bisa menyelamatkan semua mainan/aset yang sedang mereka operasikan.

Siapa yang mau dibayar itu, bisa subyek hukum siapa saja yang berada dan menjadi bagian dari institusi tertentu (lembaga negara, NGO/OMS, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga lembaga keamanan, lembaga konsultan, asosiasi profesi tertentu) untuk dimanfaatkan sebagai kepanjangan tangan mereka sesuai perannya masing-masing.

Pada akhirnya, serpihan parcel perlahan akan tampak gambar dan wujud aslinya. Bagian dari serpihan gambar itu, diduga bisa mewakil sebagian atau seluruh komponen tertentu yang memang tidak sadar sudah menjadi bagian dari para pelaku yang berkontribusi mendukung dan menguatkan praktik Oligarki itu sendiri.

Saling silang pendapat dengan basis asumsi, argumentasi, jastifikasi, hingga tawaran solusi dengan kebenaran subyektif, akan mewarnai tontonan perdebatan sangat menarik bagi public. selanjutnya, setiap pelaku bisnis, penentang dan pengawal serta pengamat penerapan UU, hingga penerima dampak UUCK, secara bersamaan menjaga konsistensi praktiknya.

Tema inti perdebatan yang dipertontonkan terkait Omnibus Law Cipta Kerja, akan berkisar soal isi atau material UU (konten) dan tahapan perancangan hingga penetapannya (proses). Kedua hal ini perlu dipaparkan para ahlinya, sehingga public ter-udukasi secara politik-hukum.

Fenomena situasi politik Indonesia sehari setelah UUCK ditetapkan hasil rapat paripurna DPR RI, diwarnai dengan respon sebagian besar organisasi serikat buruh dan para buruh melakukan demonstratsi turun ke jalan, maupun tindakan mogok kerja di pabrik-pabrik tempat buruh bekerja.

Meski ada pernyataan dugaan demonstratsi turun dimainkan para pialang politik yang tidak pernah kotor tangan dan keluar keringatnya. Sementara, ada juga representasi petani/ladang yang ada di sekitar kawasan hutan, maupun para buruh pabrik, yang setiap harinya bergelut dengan resiko tidak menentu nasibnya setiap saat.

Komitmen organisasi serikat buruh, federasi buruh, hingga tingkatan confederasi buruh,  tentu tidak sebatas mobilisasi buruh berdemonstrasi, tetapi punya tanggung jawab moral-politik-hukum kepada para buruh yang diklaim sebagai konstituennya.

Kehadiran UUCK, menjadi tantangan dalam memberi pelayanan dengan pelatihan peningkatan skill dan keterampilan buruh seacara regular, meningkatkan pengetahuan/pemahaman buruh tentang hak dan kewajibannya secara massif dan merata, agar mampu berkompetisi dan berani bersuara membela dan mempertahankan haknya.

Profesionalisme kerja organisasi buruh ini, untuk menjawab pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan, sebanyak 87% dari total penduduk pekerja memiliki pendidikan setingkat SMA ke bawah, dan diantaranya 39% persen pendidikan sekolah dasar.

Apakah selama ini sudah dilakukan organisasi buruh secara maksimal? dan para buruh sudah merasa diperhatikan dan dilayani sesuai haknya sebagai anggota organisasi buruh? para buruh dan organisasi buruh itu sendiri yang bisa menjawabnya dengan jujur.

Implikasinya dengan fenomena peluang positif disyahkannya Omnibus Law Cipta Kerja ini, antara lain (1) adanya dinamika ilmu hukum Indonesia dan perguruan tinggi, (2) pertama kali dalam sejarah, Indonesia mampu merekonstruksi peraturan perundangan lintas kepentingan secara spektakular sekaligus kontroversial, (3) perdebatan kritis pakar hukum ketatanegaraan terkait konten dan proses, dan (4) memicu kompetisi peningkatan skil dan profesionalisme individu maupun badan hukum tertentu.

Secara garis besar, sisi positif UUCK ini, bisa memacu sikap dan prilaku profesional setiap individu maupun badan hukum tertentu. Kompetisi secara sehat berbasis skill dan profesionalisme kerja, sehingga memacu kompetisi setiap subyek hukum yang bertumpu pada ekonomi pasar sebagai pengadil secara natural.

Khusus untuk klaster substansi kehutanan dalam UUCK ini, ada beberapa ketentuan hukum yang sedang ditunggu kalangan masyarakat di tingkat tapak. Keberadaan status dan legalisasi lahan yang digarap masyarakat sekitar kawasan hutan, dan masalah konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan swasta.

Setidaknya, ada harapan baru yang menggairahkan masyarakat tingkat tapak, saat menyimak pernyataan sekaligus janji politik Menteri LHK dalam konferensi persnya. Pernyataan politik tersebut, pada saatnya bisa ditagih jika inkonsisten dalam realisasinya.

Misalnya saja, soal pendekatan restorative justice dan mengangkat perijinan perhutanan sosial, dan pengaturan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang bermukim disekitar hutan dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana) dan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan (hutsos, kemitraan konservasi, TORA) ditegaskan pengaturannya dalam UUCK.

Belum lagi pernyataan pihak kementerian ketenagakerjaan, yang intinya mengatakan tidak ada yang perubahan secara signifikan dengan peraturan perundangan sebelumnya, bahkan salah satu klaster yang diatur UUCK mengupayakan ketersediaan lapangan kerja baru untuk sektor padat karya.

Fenomena masyarakat di tingkat tapak, sejatinya sudah cukup kuat dengan ragam program/projek berikut bentukan kelembagaan yang didampingi dan difasilitasi pemerintah, NGO/OMS, hingga perusahaan swasta/BUMN. Saat ini, tahapan akhir yang sedang diperjuangkan, adalah soal pengakuan politik dan legalitasnya dari pihak pemerintah.

Ada 3 (tiga) hal relative penting dan mendasar diatur UUCK untuk substansi Lingkungan. Pertama, soal AMDAL implikasinya dengan keterlibatan masyarakat, sesuai amanat perundangan pemerintah memberikan perhatian lebih bagi masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatannya.

Kedua, konsep perizinan berusaha berbasis model Risk Based Approach (RBA) yang sejalan dengan dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan SPPL). Sedangkan untuk persyaratan lain berikut tahapannya masih sesuai pengaturan Pasal 123 UU.No.32/2009.

Ketiga, penerapan tindakan administratif atau tindakan pidana korporasi, selain pidana penjara atau denda terhadap pengurusnya. Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban pemulihan kerusakan lingkungan atau mengganti atas kerugian harta benda atau kerusakan barang akibat dari kegiatannya.

Sedangkan substansi kehutanan, setidaknya ada 9 (sembilan) hal relative penting dan mendasar diatur UUCK implikasinya dengan masalah laten yang terjadi di tingkat tapak, antara lain :

  1. Tanggung jawab atas terjadinya kebakaran pada areal kerja, tetap menjadi tanggung jawab pemegang ijin konsesi;
  2. Pemberian akses legal Perhutanan Sosial (HKm, HD, HTR, KK, HA) serta kebijakan yang mendorong penanganan konflik tenurial, pengembangan usaha kelompok masyarakat, dan pendampingan.
  3. Pemegang ijin usaha perkebunan diwajibkan menyediakan areal sebesar 20% yang merupakan areal plasma kebun sawit, yang arealnya berada di areal HGU dan apabila berada dalam kawasan hutan, perlu ada pelepasan kawasan hutan.
  4. Pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tinggal didalam dan/atau sekitar hutan paling singkat 5 tahun berturut-turut, hanya dikenakan sanksi administrasi (tidak pidana);
  5. Mengakomodir masyarakat yang terlanjur menggarap dalam kawasan hutan negara;
  6. Bentuk izin yang dikeluarkan pemkab yang ternyata berada dalam kawasan hutan negara, (sehingga berarti usaha tanpa izin) wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku;
  7. Penyelesaian perambahan hutan (kebun sawit, tambang, dan kegiatan lainnya) yang tidak memiliki perizinan
  8. Tidak terjadi kriminalisasi dan dapat mengakomodir pelanggaran yang dilakukan perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus, dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana).
  9. Penyelesaian keterlanjuran pemegang izin kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan, dan ijin-ijin kebun sesuai dengan UU Pemda (1999 dan 2004) diberikan oleh Kabupaten yang dan ternyata berada dalam kawasan hutan tanpa ijin.

Sebagai entitas yang tidak ingin ketinggalan momentum, kalangan akademisi puluhan perguruan tinggi juga turut melakukan penolakan. Meskipun, 5 (lima) hal pernyataannya cenderung berbasis asumsi dengan kalkulasi kebenaran subyektif terhadap konsekwensi dampak ikutan sekaligus dugaannya.

Kekhawatiran berbasis asumsi yang dilandasi hasil kajiannya secara mendalam kalangan akademisi ini, berkenaan dengan kekhawatirannya terjadi praktik sentralistik, anti lingkungan hidup, liberalisasi pertanian, pengabaian HAM, dan prosedur pembentukan UU.

Pernyataan sikap dan tindakan politik kalangan akademisi tersebut, merupakan kontribusi kritiknya secara elegan dan proporsional. Justru tidak elok persepsinya dimata publik, jika tidak bersuara dan melakukan sesuatu, sesuai peran dan tanggung jawab politisnya untuk pengabdiannya kepada masyarakat.

Meskipun peluang bagi kalangan akademisi, kehadiran UUCK berpotensi dijadikan tema diskusi ilmiah, kegiatan kajian ilmiah, melakukan penelitian dalam rentang waktu relative panjang. Tentu butuh dana relative besar untuk riset pembuktian soal manfaat dan dampak serta efektifitas UUCK menjawab berbagai masalah yang sudah menaun dan bersifat laten.

Melihat dinamika politik berbagai komponen bangsa mensikapi kehadiran UUCK, diharapkan para pihak melakukannya secara positif. Upaya ideal melalui cara dan mekanisme politik-hukum yang dilakukan dengan cara santun dan menahan diri. Karena, apapun yang sedang diperjuangkan, jangan sampai menambah beban penderitaan rakyat yang sudah sangat terpuruk akibat dampak pandemic Covid-19 saat ini.

Penulis: Khusnul Zaini, SH. MM.
Advokat dan Aktivis Lingkungan Hidup

Bahan bacaan/referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun