Secara garis besar, sisi positif UUCK ini, bisa memacu sikap dan prilaku profesional setiap individu maupun badan hukum tertentu. Kompetisi secara sehat berbasis skill dan profesionalisme kerja, sehingga memacu kompetisi setiap subyek hukum yang bertumpu pada ekonomi pasar sebagai pengadil secara natural.
Khusus untuk klaster substansi kehutanan dalam UUCK ini, ada beberapa ketentuan hukum yang sedang ditunggu kalangan masyarakat di tingkat tapak. Keberadaan status dan legalisasi lahan yang digarap masyarakat sekitar kawasan hutan, dan masalah konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan swasta.
Setidaknya, ada harapan baru yang menggairahkan masyarakat tingkat tapak, saat menyimak pernyataan sekaligus janji politik Menteri LHK dalam konferensi persnya. Pernyataan politik tersebut, pada saatnya bisa ditagih jika inkonsisten dalam realisasinya.
Misalnya saja, soal pendekatan restorative justice dan mengangkat perijinan perhutanan sosial, dan pengaturan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang bermukim disekitar hutan dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana) dan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan (hutsos, kemitraan konservasi, TORA) ditegaskan pengaturannya dalam UUCK.
Belum lagi pernyataan pihak kementerian ketenagakerjaan, yang intinya mengatakan tidak ada yang perubahan secara signifikan dengan peraturan perundangan sebelumnya, bahkan salah satu klaster yang diatur UUCK mengupayakan ketersediaan lapangan kerja baru untuk sektor padat karya.
Fenomena masyarakat di tingkat tapak, sejatinya sudah cukup kuat dengan ragam program/projek berikut bentukan kelembagaan yang didampingi dan difasilitasi pemerintah, NGO/OMS, hingga perusahaan swasta/BUMN. Saat ini, tahapan akhir yang sedang diperjuangkan, adalah soal pengakuan politik dan legalitasnya dari pihak pemerintah.
Ada 3 (tiga) hal relative penting dan mendasar diatur UUCK untuk substansi Lingkungan. Pertama, soal AMDAL implikasinya dengan keterlibatan masyarakat, sesuai amanat perundangan pemerintah memberikan perhatian lebih bagi masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatannya.
Kedua, konsep perizinan berusaha berbasis model Risk Based Approach (RBA) yang sejalan dengan dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan SPPL). Sedangkan untuk persyaratan lain berikut tahapannya masih sesuai pengaturan Pasal 123 UU.No.32/2009.
Ketiga, penerapan tindakan administratif atau tindakan pidana korporasi, selain pidana penjara atau denda terhadap pengurusnya. Pengenaan sanksi administratif tidak menghilangkan kewajiban pemulihan kerusakan lingkungan atau mengganti atas kerugian harta benda atau kerusakan barang akibat dari kegiatannya.
Sedangkan substansi kehutanan, setidaknya ada 9 (sembilan) hal relative penting dan mendasar diatur UUCK implikasinya dengan masalah laten yang terjadi di tingkat tapak, antara lain :
- Tanggung jawab atas terjadinya kebakaran pada areal kerja, tetap menjadi tanggung jawab pemegang ijin konsesi;
- Pemberian akses legal Perhutanan Sosial (HKm, HD, HTR, KK, HA) serta kebijakan yang mendorong penanganan konflik tenurial, pengembangan usaha kelompok masyarakat, dan pendampingan.
- Pemegang ijin usaha perkebunan diwajibkan menyediakan areal sebesar 20% yang merupakan areal plasma kebun sawit, yang arealnya berada di areal HGU dan apabila berada dalam kawasan hutan, perlu ada pelepasan kawasan hutan.
- Pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tinggal didalam dan/atau sekitar hutan paling singkat 5 tahun berturut-turut, hanya dikenakan sanksi administrasi (tidak pidana);
- Mengakomodir masyarakat yang terlanjur menggarap dalam kawasan hutan negara;
- Bentuk izin yang dikeluarkan pemkab yang ternyata berada dalam kawasan hutan negara, (sehingga berarti usaha tanpa izin) wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku;
- Penyelesaian perambahan hutan (kebun sawit, tambang, dan kegiatan lainnya) yang tidak memiliki perizinan
- Tidak terjadi kriminalisasi dan dapat mengakomodir pelanggaran yang dilakukan perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus, dikenakan sanksi administrasi (bukan pidana).
- Penyelesaian keterlanjuran pemegang izin kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan, dan ijin-ijin kebun sesuai dengan UU Pemda (1999 dan 2004) diberikan oleh Kabupaten yang dan ternyata berada dalam kawasan hutan tanpa ijin.
Sebagai entitas yang tidak ingin ketinggalan momentum, kalangan akademisi puluhan perguruan tinggi juga turut melakukan penolakan. Meskipun, 5 (lima) hal pernyataannya cenderung berbasis asumsi dengan kalkulasi kebenaran subyektif terhadap konsekwensi dampak ikutan sekaligus dugaannya.