Sikap kritisnya semasa kuliah, dituangkannya dalam kata bijaknya,
"Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia".
Jika menafsir kata bijaknya di atas, Gie berharap kepada para mahasiswa saat selesai studi, berkarya ataupun menduduki posisi apa saja, tetaplah menjadi dirinya sendiri. Siapa dirinya Ketika sedang membaca dan berdiskuai dalam memaknai berbagai teori-teori ideal.
Jika dalam perjanan kariermu berubah pikiran, terkait sikap dan tindakan, itu berarti sedang menunjukkan bahwa dalam diri dan kehidupanmu sudah menerima dan terbiasa dengan berbagai perlakuan penindasan atas Nurani dan kebebasannya.
Bisa juga berarti, kata bijak yang ditulisnya itu sebagai antisipasi atas prediksinya terhadap prilaku politik kawan sejalannya dikemudian hari. Beberapa sosok dimaksud, tertuju pada kawan sejawat Cosmas Batubara, Soegeng Sarjadi, Mar'ie Muhammad, yang era rezim Orde Baru menduduki jabatan menteri, atau Nono Anwar Makarim sebagai tokoh awal mula penggagas organisasi non pemerintah (ORNOP).
Perlawanannya kepada rezim Orde Lama, semata tidak kepada pribadi Soekarno. Sebagai bapak bangsa yang sejak muda tidak pernah berhenti memikirkan arah dan masa depan bangsa ini, untuk bisa mengangkat derajat dan martabat negara Indonesia.
Akan tetapi, kritik dan perlawananya ditujukan kepada para Menteri yang mengelilingi Bung Karno yang dinilainya hanya memperkaya diri sendiri dan memberi laporan yang bagus-bagus saja.
Sikap dan tindakan atas kritik dan perlawanannya kepada rezim Soekarno ini, memang menjadi bagian dari rangkian kalimat sebagaimana tertulis dalam buku wajib para demonstran parlemen jalanan era delapan puluhan, berjudul "Catatan Seorang Demonstran".
Soe Hok Gie tetap memposisikan diri di luar sistem, meski ada beberapa tokoh Angkatan 66 masuk dan menjadi anggota parlemen. Untuk mengingatkan kawan sejalan sekaligus kecintaan dan kesetiannya kepada para sahabatnya, Gie mengirim pupur dan lipstik sebagai bentuk sindirannya, agar mereka terlihat elok di mata penguasa.
"Terlihat elok" dalam konteks ini, bisa bermakna paradoksal. Yaitu tetap sebagai mantan aktifis yang kritis dan merdeka dalam berfikir dan bertindak. Atau sebaliknya, menjadi bagian peracik kebijakan politik pemerintah penguasa yang punya ruang dan peluang memanipulasi kekuasaan yang sedang digenggamnya.
Tindakan Soe Hok Gie di masa itu, nampaknya tidak ada lagi yang mau dan berani lakukan oleh para mantan aktivis di era reformasi kini. Meskipun, fenomena politisnya terulang lagi saat ini.
Hal diatas, sejalan dengan kata bijaknya yang pernah ditulis :
"Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi".