Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skenario Kebijakan Perhutanan Sosial: Secara Politik Siapa yang Diuntungkan?

12 Agustus 2020   17:47 Diperbarui: 12 Agustus 2020   18:09 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tantangan lain adalah bagaimana bisa menjadikan skenario perhutanan sosial menjadi bagian prioritas pembangunan pemerintah daerah secara jangka panjang. Perhutanan sosial masih belum terjadi di sebagian besar provinsi di Indonesia.

Perhutanan sosial masih dipandang sebagai program nasional, dan pemerintah provinsi dan kabupaten belum menjadikannya sebagai bagian program prioritas pembangunan ekonomi daerah, sehingga tidak teranggarkan di APBD untuk mendukung implementasi di tingkat tapak.

Melalui cermatan bahasan di atas, apakah skenario kebijakan politik ini sudah bisa memenuhi tujuan untuk keadilan? Dalam konteks realisasi skema perhutanan sosial, maka tafsir "makna suatu keadilan" itu akan terpenuhi, bila pemerintah mewajibkan para pemegang izin konsesi hutan dan tambang bertanggung jawab secara politik-hukum untuk turut serta membiayai proses pengelolaan areal Perhutanan Sosial.

Fakta politisnya bisa dirunut berdasarkan sejarah penguasaan/pengelolaan kawasan hutan/lahan oleh masyarakat setempat/adat secara turun temurun, sebelum diserahkan kepada para pengusaha melalui izin konsesinya setelah ada legalitas berdasarkan klaim negara.

Proses legal pengakuan dan penguasaan negara atas kawasan hutan/lahan ini berlangsung sekitar tahun 1980 melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Diduga, selama proses pelaksanaannya di masa rezim Orde Baru itu, terjadi praktik intimidatif terselubung dan manipulative berita acara pelaksanaannya.

Lahirnya kebijakan TGHK ini dilatari dengan gagalnya proses permudaan Kembali Kawasan hutan paska penebangan di areal HPH karena tidak ada kepastian areal dari gangguan perladangan masyarakat.

Untuk mengamankan batas kawasan ini maka pada tahun 1980 telah dikeluarkan peraturan baru tentang batas kawasan hutan dan peruntukkannya yang ditanda-tangani oleh 3 Menteri (SKB Tiga Menteri). Peraturan ini dinamakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

Keadilan dalam konteks ini, tentunya juga tidak harus melakukan pembiaran jika ada masalah penguasaan kembali lahan oleh masyarakat dengan bukti adat yang diyakini. Meski dalam konteks hukum, tidak terpenuhi secara legal formal sebagaimana ketentuan UU.No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta peraturan turunannya.

Andai solusi jalan tengahnya terpenuhi dengan skema kemitraan, maka sudah menjadi kewajiban politis bagi pihak perusahaan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan dan praktik pengelolaan lahan hingga menampung hasil komoditi yang dihasilkan kemudian.

Untuk dipahami bahwa dana/biaya dan SDM yang dikeluarkan pihak perusahaan ini bukan sebagai bentuk belas kasihan, tetapi merupakan kewajiban hukum atas kompensasi politik yang harus dilakukan secara sadar tanpa paksaan.  

Bagi masyarakat setempat/adat, skenario kebijakan perhutanan sosial ini bisa menjadi "berkah atau musibah". Berkah jika bisa meningkatkan kesejahteraan, keamanan dan kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun