“Kalah dalam pertempuran, tetapi menang dalam peperangan” adalah target akhir para jenderal perang. Mengapa? karena ada kompensasi politik lebih besar yang ditangguk Presiden atau Perdana Menteri dikemudian hari. Setidaknya, analogi ini relevan dengan scenario alternative sebagai solusi penanganan Covid-19.
Menghadapi kasus Covid-19, butuh cara berfikir dan bertindak multi perspektif. Efek dominonya telah memporak-porandakan budaya dan peradaban manusia. Tidak hanya soal kebangkrutan ekonomi, tetapi sudah merasuki pola pikir dan pola tindak masyarakat secara masif.
Kasus pandemi Covid-19 adalah masalah bersama warga dunia. Meski demikian, pemerintah dan seluruh komponen bangsa ini tidak boleh menyerah kalah. Peradaban manusia beserta budaya dan kehidupan harus tetap berlanjut, dan pemenuhan syariat agama dan keyakinan setiap individu harus segera kembali normal.
Menjawab tantangan ini, butuh “Gerakan Kolektif Satu Komando” berbasis gotong royong dan saling percaya diri. Jika tidak, potensi kehancuran sangat fatal melebihi dampak resesi ekonomi 1997. Kemiskinan dan pengangguran meningkat, saling tidak percaya/curiga, saling menyalahkan, kriminalisasi, demonstrasi, ego/nasional sentris sedang berlangsung dan menunggu saatnya tiba.
Untuk memulai gerakan, titik masuknya lebih dahulu “mengembalikan prilaku paranoid masyarakat” dalam mensikapi kasus Covid-19. Saat ini, kecemasan psykologis massa terjadi secara massif, diduga karena kesalahan cara mengkomunikasikan kebijakan dan pesan politis pemerintah maupun WHO tentang pandemi Covid-19.
Penggunaan diksi yang seharusnya memberi spirit kesiapan mental untuk tetap berfikir realistis-rasional, bergotong royong, saling membantudan melindumgi, tetapi justru sebaliknya, menggunakan diksi informasi yang membuat masyarakat menjadi tidak percaya diri.
Situasinya diperparah dengan beredar info di media sosial soal penyebaran, penularan, pemberian sanksi sosial, hingga konsekwensi bagi seseorang yang dinyatakan positif Covid-19 yang harus menjalani isolasi yang difasilitasi pemerintah atau isolasi mandiri, justru membuat takut setiap orang.
Akibat paranoid ini, muncul sikap dan prilaku masyarakat secara irasional (gangguan mental) hingga meyakini orang lain bisa membahayakan dirinya. Rasa kekhawatiran dan keresahan secara berlebihan ini, bisa memicu stress sehingga melemah antibodi tubuh.
Harus ada upaya peningkatan antibodi agar sistem pertahanan tubuh bisa melindungi diri dari benda asing yang mungkin bersifat patogen bisa bekerja dengan maksimal. Memperkuat sistem kekebalan tubuh, dua diantaranya dengan cara "mengelola stres" dan "tertawa", selain dengan menjalani pola hidup sehat.
Jika masalah paranoid politis masyarakat teratasi, dan mereka sudah bersikap/berprilaku rasional dan normal, maka langkah selanjutnya perlu ada “gerakan kolektif herd immunity”. Walikota Bogor Bima Arya diduga lebih dulu melakukan kampanye herd immunity, meski tidak menyatakan secara terang-terangan.
Herd Immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi.
Bima Arya pastinya butuh dukungan untuk gerakan individual simpatiknya, memberi pengarahan dan motivasi kepada warganya, dengan berbagi pengalaman pribadinya saat menjalani masa isolasi ketika di vonis positif Covid-19. Meskipun, WHO sendiri tidak setuju konsep Herd Immunity untuk atasi corona.
Solusi melalui skenario Herd Immunity ini, akan sangat menarik jika menyimak silang pendapat Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dengan Direktur Eksekutif Kedaruratan Kesehatan WHO, Michael Ryan. Herd immunity diprediksi dapat memperlambat pandemi Corona, ketika kondisi saat sejumlah orang dalam populasi punya daya imun yang sangat baik sehingga tahan penyakit, hingga memungkinkan penyakit tidak menyebar lebih luas dan bisa ditahan.
Ide herd immunity oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang disampaikan dalam acara televisi itu, meski kemudian mengklarifikasinya setelah mendapat tanggapan negatif dari ahli kesehatan. Kata kunci dari skema pendekatan ini, berupaya membangun dan membentuk daya tahan tubuh dan komunitas yang lebih baik.
Sedangkan Direktur Eksekutif Kedaruratan Kesehatan WHO, Michael Ryan mengatakan “Mungkin saja negara yang kurang menerapkan langkah-langkah, tidak melakukan apapun, tiba-tiba secara ajaib akan mencapai kekebalan kawanan (herd immunity), dan tidak masalah apabila kita kehilangan orang-orang tua selama proses tersebut,”.
Herd immunity adalah salah satu alternative solusi untuk memerangi pemutusan penyebaran covid-19. Apabila yang sembuh dan sehat bersedia untuk bersatu melakukan Gerakan Herd immunity, jika perlu dengan cara berdemonstrasi dengan menyatakan diri turut membantu, maka pemerintah akan semakin percaya diri melakukan program penanganan Covid-19 dan normalisasi ekonomi masyarakat dan negara.
Ibarat permainan catur, mengorbankan menteri dengan pion demi menyelamatkan posisi raja, maka analogi itu bisa diwujudkan dengan scenario “gerakan kolektif herd immunity” dalam menyongsong “normalisasi ekonomi” dalam upaya memulihkan eksistensi negara-bangsa dan kesejahteraan warga negaranya.
Kehadiran Erick Thohir yang ditugasi menakhodai Komite Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Corona harus disambut baik dengan dukungan seluruh komponen bangsa. Menteri BUMN diberi tugas mengkoordinasi ketua satgas pemulihan ekonomi dan satgas penanganan Corona Budi Gunadi Sadikin (Wakil Menteri BUMN I), sementara Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 masih dipercayakan Doni Monardo.
Bagi yang positif Covid-19 tetap dirawat seperti biasa, dan yang meninggal karena positif Covid-19 dilakukan pulasara sesuai protap yang berlaku. Dengan demikian, setiap dua minggu akan ada manusia indonesia yg imun dengan Covid-19. Selama ini kita masih “sadar soal demografi” saja, tetapi melupakan “sadar soal potensi keberanian kolektif” yang ada pada bangsa ini.
Jika dihitung perbandingan orang yang sembuh dengan yang meninggal karena covid-19, maka hingga hari ini dapat disimpulkan jumlah yang sembuh terus meningkat dan semuanya menjadi kebal secara heriditas. Setidaknya kondisi ini bisa mengurangi anggaran pembelian vaksin yang belum ada kepastian waktu maupun jaminan kemanjurannya.
Fakta ini sebenarnya terjadi dalam keseharian pengguna commuter/KRL, angkutan umum darat, laut dan udara. Selain mereka telah berhati-hati dengan berbagai antisipasi, diduga mereka sudah sebagai carrier. Dikarenakan mereka sehat dan imunitas bagus, dan kalaupun kemudian positif Covid-19, diperkirakan banyak yang sembuh kemudian.
Jika semua hal di atas bisa dilakukan dengan seksama berbasis gotong royong dan saling percaya diri, maka negara-bangsa ini akan mampu keluar dengan segera dari masalah kehancuran peradaban.
Proses peradaban dan perekonomian bisa segera pulih disemua segi kehidupan dan berbagai sector ekonomi, pasar akan kembali normal, tata laksana ibadah kembali sesuai syariat, sementara negara lain masih merangkak memperbaiki perekonomiannya.
Mensitir pernyataan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Hasanuddin AF mengatakan seorang muslim yang meninggal karena penyakit Covid-19 yang disebabkan virus Corona, maka meninggal secara syahid akhirat. Tetapi, kata dia, haknya sebagai jenazah wajib dipenuhi.
Pernyataan politik ketua MUI soal kematian karena penyakit Covid-19 adalah mati sahid itu, setidaknya menjadi relevan jika upaya “gerakan kolektif herd immunity” bisa diandalkan sebagai salah satu alternative solusinya.
Dengan demikian, hari demi hari semakin banyak yang sehat dan kebal terhadap covid-19, sehingga bisa melanjutkan kehidupannya secara normal kembali. Bagi yang meninggal karena positif Covid-19 akan mati sahid. Inilah wujud perang sesungguhnya di era modern, perang melawan musuh yang tidak kelihatan yang sebenarnya relative mudah ditaklukkan.
Para aktivis gerakan ini, dalam teori kausalitas, sedang menyelamatkan peradaban atas masalah yang diakibatkan perbuatan manusia itu sendiri. Atau dalam teori teologis, merupakan teguran Tuhan karena kasih sayangnya kepada umat manusia yang lalai atas kewajiban perintah yang harus dijalankan.
Menghadapi masalah pandemic Covid-19, sebisa mungkin jangan memperhadapkan antara teori kausalitas versus teori teologis. Meski, andai ditelisik lebih dalam, akan bertemu pada satu kesimpulan yang namanya takdir Tuhan. Bukankah peradaban manusia selalu berkembang, dan terus diperbaruhi dengan akal dan fikiran sekelompok manusia secara rasional sesuai kebutuhan yang dinamis?
Secara agama atau keyakinan tertentu, tentu Tuhan menurunkan apapun musibah itu, semata karena sayang dan ada maksud baik dibaliknya. Kebiasaan menjadi semakin bersih, mengurangi aktifitas yang tidak ada manfaat, semakin dekat dengan keluarga, semakin meningkatkan perbuatan baik, karena takut datangnya kematian, adalah sebuah hadiah dan hikmah terbaik dibalik musibah pandemic Covid-19 ini.
Penulis: Khusnul Zaini, SH. MM.
Advokat dan Aktivis Lingkungan Hidup
Bahan bacaan/referensi :
- (https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=definisi+paranoid+adalah). (http://republik-online.com/who-tak-setuju-konsep-herd-immunity-untuk-atasi-corona-simak-pembahasan-tentang-herd-immunity/)
- Acara jumpa pers mengenai Covid-19, di Jenewa, Swiss, tanggal 11 Mei 2020 yang disiarkan kanal YouTube United Nations.
- (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5101488/erick-thohir-nakhodai-komite-pemulihan-ekonomi-dan-penanganan-corona/2)
- (https://www.liputan6.com/news/read/4213243/mui-muslim-yang-meninggal-karena-corona-mati-syahid-akhirat).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI