Film pendek Gilingan hadir dari karya Ersya Ruswandono sebagai tugas karya akhir S1 dari Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Sebuah potret realita yang membayangi masyarakat kota dan desa di Yogyakarta.
Film pendek Gilingan menjadi tontonan film pendek saya yang terakhir sebelum lembar kalender harus disobek guna menyambutnya datangnya 2024. Film ini bisa ditonton secara bebas di platform YouTube. Monggo.
Rangkaian kalimat tentang film pendek Gilingan di bawah adalah proyek pribadi, latihan pembiasaan menulis minimal 1200 kata untuk kategori review film pendek. Selamat membaca dan mohon masukannya. Matur nuwun.Â
_
RENTANG langit di sepanjang horison itu sedang membiru cerah. Sementara awan putih tipis, memanjang dalam sapuan angin. Bagai lukisan dalam kanvas yang sedang digerakkan oleh sapuan kuas sang maestro.
Mata kamera bergerak di ketinggian, menyongsong cakrawala. Mempertontonkan pepohonan kelapa, jalan beraspal, dan satu dua rumah penduduk di sisi kiri.
Di sisa sisi yang luas, petak-petak sawah tampak teratur dalam barisan, seolah terbagi oleh tarikan pinsil tangan kanak-kanak di kertas gambarnya. Tersusun rapi, menghijau bersama beragam tanaman lain di ujung garis horisontal.
Setiap petak sawah tentu adalah penanda kepemilikan tanah pertanian itu. Masing-masing memamerkan lanskap warna berbeda. Antara tanah coklat dan genangan air di atasnya hingga kehijauan yang dibentuk dari benih-benih padi yang siap ditanam.
Lalu, kita diperlihatkan pada panorama khas wajah desa pertanian yang eksotis. Tampak beberapa orang di kejauhan sedang mengerjakan panggilan hidupnya untuk memanen hamparan padi yang telah runduk dan menguning.
Para warga yang beriringan, berjalan di atas jalanan berpaving blok dengan latar hijau yang padat. Dalam rimbun pohon dan batang-batang tanaman pisang. Di landai sebuah pekarangan, hempasan gabah sedang menanti sinar mentari untuk menjemurinya.
Itulah suguhan sebuah sudut di negeri yang selayaknya menyandang atribut "gemah ripah loh jinawi". Gambaran sebuah negeri yang dimaknai sebagai "tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya".
Realita itu tiba
Realita itu tiba berbicara lain ketika kita dibawa mengikuti sorotan kedatangan seorang pemuda asing. Lelaki yang hanya membawa ransel itu, disambut dengan pelukan erat seorang perempuan muda dengan ekspresif.
Lelaki bernama Bagus (Aditya Putra) itu harus kembali ke kampung halamannya disebabkan kematian ayahnya. Selepas membebaskan duka atas kepergian itu, dia mulai dihadapkan pada kenyataan hidup.
Baginya, sebagai lelaki yang telah mengenyam kehidupan alam perkotaan, solusi atas kelanjutan hidup sangant sederhana. Ia hendak memboyong adiknya perempuanya Laras (Joanna Dyah) yang masih duduk di bangku SMA untuk turut serta pindah ke ibu kota.
Lagi pula, ayahnya tidaklah mewariskan tanah pertanian yang memberatkan langkahnya untuk mengambil keputusan. Melainkan "sekadar" usaha jasa penggilingan---mesin pemrosesan gabah menjadi beras.
Sudah demikian, beban untuk dijadikan bahan pertimbangan menjadi kian ringan bagi Bagus. Sebab usaha yang telah beroperasi dalam tempo lama itu, bukan pula milik pribadi sang ayah.
Dalam bisnis yang menjadi bagian dari ekosistem pendukung pertanian itu, ayahnya bermitra dengan orang lain. Bahkan setelah diajak Laras meninjau "pabrik" itu, ia menemukan kenyataan kondisi yang memprihatinkan
Banyak hal yang harus dilakukan apabila hendak meneruskan usaha penggilingan itu. Tentu saja membutuh modal awal yang tidak sedikit. Akan habis begitu saja untuk memperbaiki kondisi mesin yang sudah tidak prima lagi.
Situasi semakin pelik saat Bagus mempelajari situasi terkait persaingan usaha penggilingan ini di kampung halamannya. Ia mendapati bisnis ini marak dikembangkan dengan persaingan yang tidak sehat, bahkan cederung ilegal.
Itu sebabnya tidak sulit bagi Bagus untuk memperkuat penolakan terhadap jalan bisnis keluarga ini. Bagus dengan mudah sampai pada anggapan bahwa kehidupan di kota besar lebih mudah. Lebih menjanjikan daripada tinggal di desa.
Namun demikian, ia menghadapi penolakan yang gigih dari Laras. Adik yang menjadi anggota keluarga satu-satunya yang masih ada ini, dengan tegas menyatakan keengganan untuk ikut bersamanya mengadu nasib di ibu kota.
Laras bersikukuh untuk tetap bertahan di kampung halaman keluarga mereka ini. Meskipun tidak tahu harus bagaimana memulainya, ia ingin bertahan dan memenuhi wasiat ayahnya untuk melanjutkan bisnis penggilingan padi.
Apa perasaan tidak terima di dalam diri Laras atas situasi yang ada saat ini. Ia tidak ingin usaha peninggalan ayahnya ini digilas oleh kedatangan para pebisnis penggilingan padi ilegal yang mulai tampak merajalela.
Fenomena pangan
Bukan fenomena baru dan bukan pula narasi perbincangan baru. Sudah sejak lama Indonesia ditengarai sedang menghadapi krisis petani muda. Atau, orang-orang muda yang memberi perhatian serius pada sektor pertanian.
Pertanian memang adalah tulang punggung utama ketahanan pangan Indonesia. Namun dalam realitanya para petani muda menghadapi tantangan yang menciutkan nyali. Banyak faktor turut memengaruhi, mulai dari akses permodalan hingga pemanfaatan teknologi.
Dalam skala dunia, Organisasi Pangan Dunia atau FAO membuat prediksi tentang kecukupan kebutuhan pangan. Menurut badan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, produksi pangan pada 2050 mesti tumbuh 70 persen dibandingkan dengan 2009.
Pertanian adalah sektor yang menentukan ketahanan pangan di masa depan. Namun, realitas sektor pertanian menghadapi persoalan khas. Petaninya semakin menua, sementara orang muda tidak tertarik untuk terlibat.
Regenerasi petani tidak serta-merta berlangsung begitu saja. Butuh waktu untuk menggugah anak-anak muda. Sebelum kemudian mengajak mereka untuk mau bersusah payah mengolah tanah dan menanti panen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase orang muda di usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian, mengalami penurunan dari angka 20,79 persen pada 2017 menjadi 18 persen pada 2022 (Kompas, 11/3/2023).
Per Agustus 2022, masih menurut data tersebut, dari 135,3 juta penduduk yang bekerja, ada sekitar 28,61 persen yang bekerja di sektor pertanian. Angka ini memposisikan pertanian sebagai sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Data BPS juga menunjukkan bahwa dari 38,703 juta tenaga kerja yang berkecimpung di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, ada 25,645 juta orang (66,26 persen) berlatar pendidikan Sekolah Dasar (SD). Adapun yang tamat perguruan tinggi hanya 636.398 orang, tak lebih dari 1,64 persen.
Fenomena milenial
Dalam sebuah Poadcast belum lama berselang, terjalin banyak percakapan menarik terkait hal ini. Podcast tersebut menjadi menarik sebab menghadirkan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
Narasi-narasi pendek dalam perbincangan yang dikemas santai dan ringan itu, menarik untuk menggugah perhatian kita. Misalkan saja adegan di bawah ini.
Ate mendapat telepon dari kampung halamannya.
"Apa, Pak? Hah, pulang? Jangan Pak, saya masih mau berkarier," tukas Ate.
Ate melirik ke Kiki Saputri dan menyampaikan bahwa ia disuruh pulang kampung untuk bertani.
"Ntar ya, Pak, ya," lanjut Ate menerima telepon. "Masak di sawah lagi, di sawah lagi sih, Pak. Saya kan mau jadi Gen Z yang keren gitu."
Ate melanjutkan keluhan kepada Kiki Saputri bahwa ia disuruh pulang.
"Kalau kamu pulang, masak kamu meninggalkan gemerlap Jakarta. Cuan-cuan kamu di sini, loh," ujar Kiki Saputri memberi pertimbangan.
Pada kesempatan tersebut Menteri Andi Anram pun menjelaskan bahwa sejak tujuh tahun lalu telah terbentuk Gempita, Gerakan Pemuda Tani Indonesia.
"Saya sampaikan bahwa milenial tidak akan terlibat dalam sektor pertanian bila tidak menguntungkan," ungkap Andi Anram.
Jika petani tidak untung dan milenial melihatnya, akan berkata "untuk apa saya ke [sektor] sana."
"Mending bikin Podcast," ujar Kiki Saputri.
"Betul! Untungnya aku sudah tahu. Pendapatannya aku sudah tahu. Roasting orang, dapat duit. Enak banget hidupnya!" sergah Andi Anram.
Dalam jawaban seriusnya, Andai Anram menyatakan bahwa kita harus bertranformasi dari pertanian tradisional ke pertanian modern. Jika tidak, milenial tidak akan mau.
"Sekarang kita menuju pertanian modern," jelasnya. Lalu Andi Anram menerangkan tentang penggunaan metode dan teknologi dalam pertanian modern.
"Kita tidak mungkin bersaing dengan negara lain kalau pertanian kita tradisional. Kata kuncinya adalah bagaimana membuat petani untung. Kalau mereka rugi, milenial tidak akan ikut," lanjut Andi Anram.
Solusi kreatif
Film pendek Gilingan (2016) mencoba memotret realita kehidupan yang ada ini. Kenyataan ini menjadi bayang-bayang yang dihadapi masyarakat kota dan desa. Atau dalam konteks film ini, mengambil lokasi di Yogyakarta.
Ersya Ruswandono selaku sutradara, mengangkat kisah ini berdasarkan skenario yang ditulisnya bersama Nicky Walewangko. Dalam film dengan durasi 21 menit, kisah ini menawarkan solusi kreatif sebagai jalan keluar bagi karakter Bagus.
Solusi itu tentu saja tidak datang dari keajaiban atau ruang kosong. Logika cerita dibangun dengan baik, saat Bagus mulai terbuka dan mau memahami situasi. Ia kemudian menempatkan dirinya tidak lagi berada di sisi perlawaanan.
Dengan perangkat pikir yang telah berubah, Bagus menjadi siap menangkap gagasan-gagasan yang "tersedia" di lingkungan sekitarnya. Ia membuka hati, lalu membuka pikiran. Jalan logika ini kemudian berkembang.
"Iki tenanan, Mas?" tanya Laras saat Bagus menyodorkan konsep yang telah ia rumuskan.
Bagus mengangguk dengan meyakinkan. Film ini pun mencapai ujung yang mungkin tidak akan kita duga. (*)
Ang Tek Khun,
Penikmat cerita melalui medium bacaan dan tontonan, bisa dikontak melalui IG @angtekkhun1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H