Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Waktu dan Kisah-Kisah yang Tumbuh di Sepanjang Jalan Kompasianer

5 November 2023   03:29 Diperbarui: 6 November 2023   10:00 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagi di Gorontalo/Dokumentasi pribadi

Refleksi 15 tahun Kompasiana dan 10 tahun jadi Kompasianer, dari mendapatkan apresiasi hingga membalas budi Kompasiana dan berbagi manfaat serta membuat komunitas dan mendapat telepon dari pelaku UKMK dan maskapai penerbangan nasional.

DI rentang 15 tahun usia Kompasiana, saya bersyukur bisa berada di dalamnya. Menjadi bagian dalam iringan waktu 10 tahun sebagai Kompasianer asal Jogja. Benih-benih kisah bertumbuhan mewarnai jejak langkah itu, melebihi benefit apa pun yang yang pernah saya peroleh.

Usai menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), oleh satu dan lain sebab, saya berkecimpung penuh dalam dunia literatur. Keduanya tampak enggak nyambung, tetapi sesungguhnya setali tiga uang dalam denyut nadi saya. Pertalian di sana bernama manusia, atau untuk manusia.

Kisah ini bisa dimulai semenjak kelas tiga atau empat Sekolah Dasar (SD), di kota kelahiran saya yang "terpencil" di pulau Sulawesi sana. Entah burung apa yang melancong ke sana dan terbang rendah seraya menjatuhkan sebutir minat terhadap literasi (baca-tulis) dalam cakrawala hidup saya.

Mata Pelajaran (Mapel) Budi Pekerti, sebelum digantikan oleh Mapel Agama, menjadi elemen utama yang menyuburkannya. Guru Bimbingan Penyuluhan (BP, sekarang Guru Bimbingan Konseling/BK) memperkenalkan saya kepada dongeng dan kisah-kisah lainnya.

Guru BP itu tidak berceramah, menasihati, atau memaparkan do and don't sebagai tuntunan dan tuntutan berkehidupan bagi para siswa. Melainkan mengisahkan cerita-cerita dengan pucuk buah Budi Pekerti yang menggugah nurani dan membangun tamansari dunia batin saya.

Kala itu di kota kecil kelahiran saya, Donggala, tidak ada toko buku atau lapak koran dan majalah. Cara terbaik untuk mendapatkannya adalah ke ibukota provinsi untuk membelinya. Itu pun tidak mudah ditemui dan tak bisa sering-sering. Ada unsur yang kerap disebut orang sebagai "kebetulan", kala menemukan majalah Bobo satu-dua edisi sepanjang SD dan koran Sihar Harapan pada masa SMP.

Surga baca-tulis itu pada akhirnya saya temukan saat merantau ke pulau Jawa (baca: Surabaya) untuk menempuh pendidikan SMA dan S1. Selain Sihar Harapan dan kemudian Suara Pembaruan, saya juga menemukan Kompas dan koran lokal Surabaya, serta beragam majalah yang membuka luas halamannya untuk diisi oleh penulis luar (nonredaksi).

Ketika Kompasiana Lahir

Ketika Kompasiana nongol ke dunia, saya telah menunaikan karier di industri penerbitan buku. Sudah menerbitkan newsletter melalui "teknologi" mailing list. Multiply sudah eksis, tetapi saya memilih bloging di Wordpress dan (ikutan) berkomunitas di Blogfam. Saya mengalami masa keemasan ekosistem perblogan.

Ketika Kompasiana Berusia 5 Tahun

Ketika Kompasiana berusia balita (5 tahun), tepatnya pada 15 Agustus 2013, akun saya hadir di Kompasiana dan setelahnya mulai aktif. Sebelum tahun itu, saya pernah dikontak teman yang menjadi editor bahasa di harian Kompas, untuk ngeblog di Kompasiana. Namun, saya belum cukuppercaya diri. Sebab, kompasianer yang menulis saat itu rata-rata adalah jurnalis harian Kompas.

Perasaan enggak enak untuk menolak membuat saya memutar otak. Untuk itu saya mencoba mengalihkan genre penulisan, berupa puisi atau cerpen untuk mengisi Kompasiana. Namun saat itu, Fiksiana belum lahir. Jadi secara tegas tertulis bahwa Kompasiana tidak menerima kedua genre tersebut--puisi, cerpen, atau fiksi lainnya. Duh!

Diajak Kompasiana ke Malaysia/Dokumentasi pribadi
Diajak Kompasiana ke Malaysia/Dokumentasi pribadi

Ketika Menang Lomba Kompasiana

Ketika sesekali menang lomba blog di Kompasiana, saya sangat beryukur. Bahkan, sempat terkejut. Bergabung pada Agustus 2013, saya menang lomba blog pada event Kompasianival tahun yang sama.

Pada 18 November 2013 saya menulis tentang "Ayah Paling Bodoh Sedunia". Tulisan ini mengantarkan saya untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Phuket, Thailand. Menyusul kemudian, ajakan jalan-jalan ke berbagai tempat lainnya, di luar negeri dan di tanah air.

Pay It Forward: Kompasiana dan Kompasianer

Pada masa itu, hadiah lomba blog (setidaknya menurut ukuran saya pribadi) sangat besar nilainya. Demikian juga honorarium untuk liputan khusus, berlipat-lipat besarnya dari fee nano-influencer era kini. (Juga menulis di koran dan majalah, selain honor yang besar, kesempatannya terbuka luas.) Lalu, bagaimana cara saya mengembalikannya?

Pertama, melalui biaya-biaya yang harus saya keluarkan untuk ke Jakarta menghadiri event-event tertentu yang diselenggaraka oleh Kompasiana. Biaya perjalanan, biaya akomodasi, dan biaya-biaya lain yang cukup besar untuk ukuran Jakarta dibandingkan dengan Yogyakarta. Termasuk pengeluaran awal saat merintis komunitas Kompasianer di Jogja.

Kedua, mengenai perintisan komunitas Kompasianer di Jogja, saya memulainya dengan "perasaan" dicurigai. Saya mengontak beberapa nama yang saya yakini berdomisili di Yogyakarta. Hasilnya, tidak semua memberikan respons antusias kala itu.

Beberapa Kompasianer yang pada akhirnya memberikan respons, dengan sikap penuh hati-hati, tidak sudi menerima kehadiran saya di rumah mereka. Kami pun membuat janji untuk berjumpa di pagi hari dan di ruang publik yang ramai.

Tidak sulit menularkan "virus" untuk berkomunitas, sebab perjalanan saya di dunia literatur cukup panjang untuk dijadikan bahan motivasi dan Yogyakarta sendiri memiliki sejarah panjang dalam melahirkan puluhan bahkan ratusan penulis. Sebagian di antara mereka berhasil meraih level nasional hingga internasional.

Saya membaca sejarah masa lalu Jogja ini. Sepanjang kisaran 2 kilometer antara Tugu Golong Gilig hingga Kantor Pos Besar Yogyakarta, Jl. Panembahan Senopati, itulah panggung bagi kumpulnya para sastrawan dan seniman yang kemudian menjadi orang top di berbagai tempat.

Maka, dalam ringkas kata, lahirlah komunitas Kompasianer Jogja (KJOG).

Best Kompasiana Community 2018/Dokumentasi pribadi
Best Kompasiana Community 2018/Dokumentasi pribadi

Pay It Forward: Warga Luas

Kontribusi kategori terakhir ini, tentu saja bagi warga luas, tanpa batas-batas geografis. Kesempatan berbagi melalui "ilmu" menulis, terbuka bukan hanya di Jogja dan sekitarnya. Peluang itu memberi saya kesempatan menjelajah Jakarta, Palangkaraya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan kota-kota lain di pulau Jawa.

Untuk memperkuat kelembagaan, kesempatan terlama dan terluas adalah di ranah pariwisata, baik di tingkat kementerian, hingga dinas-dinas pprovinsi dan kabupaten. Sebagai Kompasianer, turut pula memperkuat komunitas dan ekosistem lintas sektoral skala provinsi dan kabupaten, misalnya dinas kominfo, dinas koperasi, dan institusi lainnya.

Ketika pandemi Covid-19 tiba, banyak kegiatan berhenti. Namun dalam gerak-gerak terbatas dan meluas, kesempatan itu terbuka luas. Kami, atas nama komunitas KJOG, banyak membantu pelaku UMKM untuk berpromosi di media sosial. Mereka sangat respek kepada Kompasiana.

Berbagi di Gorontalo/Dokumentasi pribadi
Berbagi di Gorontalo/Dokumentasi pribadi

Telepon-Telepon dan Apresiasi

Cukup banyak WhatsApp (WA) yang pernah saya terima berkenaan dengan status Kompasianer dan represenatif komunitas. Demikian juga ajakan berdiskusi di berbagai tempat, terutama di industri FnB. Namun, dua kisah bertelepon yang cukup panjang dan meninggalkan kesan spesial, layak di-spill sikit di sini.

Pertama, saya pernah ditelepon pemilik produk UMKM berkaitan dengan tulisan saya di Kompasiana. Percakapan kami cukup panjang, termasuk meliputi produk dan dan rencana marketing era digital/medsos. Minat saya yang sangat besar pada perencanaan produk, marketing, dan strategi konten turut membantu dalam semangat berbagi.

Kedua, percakapan telepon panjang, saya terima dari manajemen sebuah maskapai nasional. Ketika itu saya berada di dalam kereta dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta. Telepon ini adalah bagian dari respons korporat atas tulisan saya di Kompasiana.

Awal kisahnya begini. Dalam sebuah perjalanan pulang ke Yogyakarta menggunakan maskapai penerbangan tersebut, saya mengalami hal yang tidak mengenakkan. Sebagian kursi duduk saya dan banyak di bagian belakang kursi penumpang yang menghadap ke saya, dipenuhi "noda" lengket permen karet.

Selain tak sedap dipandang, aromanya cukup menusuk hidung. Ketika saya mengajukan komplen saat pesawat mengudara, para awak kabin tampak sangat sibuk. "Lepehan" yang susah dihilangkan dan cukup banyak, ternyata tidak menjadi perhatian serius para awak.

Tiba di Yogyakarta, usai menimbang cukup panjang, saya pun memutuskan untuk menuliskannya di Kompasiana. Tulisan itu pun viral, dibaca secara luas, hingga sampai ke pihak maskapai. Lalu, cukup lelah juga saya menerima percakapan panjang tersebut yang bersisi penjelasan dan undangan menyambangi hanggar pesawat yang tak ada kelanjutannya.

Namun, enggak apa-apalah, sebab saya yakin tulisan itu sudah menjadi perhatian serius maskapai tersebut untuk memperbaiki protokol layanannya. Sepadat apa pun jalur penerbangannya dan sesibuk apa pun para awak, pastinya standar kualitas tidak diabaikan.

Landing di Balikpapan/Dokumentasi pribadi
Landing di Balikpapan/Dokumentasi pribadi

Pencapaian Komunitas KJOG

Pembicaraan tentang topik ini telah saya tuturkan di akun Instagram @angtekkhun1 Namun, sekadar pelengkap bagi tulisan ini, secara ringkas saya diceritakan kembali. Ini cerita tentang tiga pencapaian yang berhasil diraih oleh komunitas KJOG.

Dua yang utama, dari lingkungan Kompasiana. Pertama, KJOG beberapa berhasil meraih program pendanaan tahunan dari Kompasiana. Kedua, KJOG juga berhasil meraih Award tahunan sebagai komunitas terbaik, yang saya terima saat Kompasianival berlangsung di Malang, Jawa Timur.

Ketiga, adalah terpilihnya KJOG di level nasional sebagai komunitas antihoaks. Penghargaan ini dari pihak luar bersama-sama dengan institusi lain. Lembaga yang memberikan apresiasi ini didukung oleh sebuah BUMN telekomunikasi.

Sampai di Danau Linow, Sulawesi Utara/Dokumentasi pribadi
Sampai di Danau Linow, Sulawesi Utara/Dokumentasi pribadi

Di Bukit Doa Tomohon, Sulawesi Utara/Dokumentasi pribadi
Di Bukit Doa Tomohon, Sulawesi Utara/Dokumentasi pribadi

Time flies but Every Moment Matters

Untuk bagian penutup ini saya ingin mengutip Kanye West yang pernah berucap bahwa "If you have the opportunity to play this game of life you need to appreciate every moment. A lot of people don't appreciate the moment until it's passed."

Tentu tidak seseram bagian belakang kalimat tersebut. Setidaknya momentum buat kita pribadi, seperti yang pernah disampaikan oleh Octavia E. Butler bahwa "Every story I create, creates me. I write to create myself."

Pada pengujung, bila menengok tahun-tahun panjang Kompasiana dan Kompasianer di belakang, kita bisa menghela napas yang berembus diwarnai ucapan syukur. Tidak kerasa, ya. "Time flies over us," ujar Nathaniel Hawthorne, "but leaves its shadow behind."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun