Refleksi 15 tahun Kompasiana dan 10 tahun jadi Kompasianer, dari mendapatkan apresiasi hingga membalas budi Kompasiana dan berbagi manfaat serta membuat komunitas dan mendapat telepon dari pelaku UKMK dan maskapai penerbangan nasional.
DI rentang 15 tahun usia Kompasiana, saya bersyukur bisa berada di dalamnya. Menjadi bagian dalam iringan waktu 10 tahun sebagai Kompasianer asal Jogja. Benih-benih kisah bertumbuhan mewarnai jejak langkah itu, melebihi benefit apa pun yang yang pernah saya peroleh.
Usai menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), oleh satu dan lain sebab, saya berkecimpung penuh dalam dunia literatur. Keduanya tampak enggak nyambung, tetapi sesungguhnya setali tiga uang dalam denyut nadi saya. Pertalian di sana bernama manusia, atau untuk manusia.
Kisah ini bisa dimulai semenjak kelas tiga atau empat Sekolah Dasar (SD), di kota kelahiran saya yang "terpencil" di pulau Sulawesi sana. Entah burung apa yang melancong ke sana dan terbang rendah seraya menjatuhkan sebutir minat terhadap literasi (baca-tulis) dalam cakrawala hidup saya.
Mata Pelajaran (Mapel) Budi Pekerti, sebelum digantikan oleh Mapel Agama, menjadi elemen utama yang menyuburkannya. Guru Bimbingan Penyuluhan (BP, sekarang Guru Bimbingan Konseling/BK) memperkenalkan saya kepada dongeng dan kisah-kisah lainnya.
Guru BP itu tidak berceramah, menasihati, atau memaparkan do and don't sebagai tuntunan dan tuntutan berkehidupan bagi para siswa. Melainkan mengisahkan cerita-cerita dengan pucuk buah Budi Pekerti yang menggugah nurani dan membangun tamansari dunia batin saya.
Kala itu di kota kecil kelahiran saya, Donggala, tidak ada toko buku atau lapak koran dan majalah. Cara terbaik untuk mendapatkannya adalah ke ibukota provinsi untuk membelinya. Itu pun tidak mudah ditemui dan tak bisa sering-sering. Ada unsur yang kerap disebut orang sebagai "kebetulan", kala menemukan majalah Bobo satu-dua edisi sepanjang SD dan koran Sihar Harapan pada masa SMP.
Surga baca-tulis itu pada akhirnya saya temukan saat merantau ke pulau Jawa (baca: Surabaya) untuk menempuh pendidikan SMA dan S1. Selain Sihar Harapan dan kemudian Suara Pembaruan, saya juga menemukan Kompas dan koran lokal Surabaya, serta beragam majalah yang membuka luas halamannya untuk diisi oleh penulis luar (nonredaksi).
Ketika Kompasiana Lahir
Ketika Kompasiana nongol ke dunia, saya telah menunaikan karier di industri penerbitan buku. Sudah menerbitkan newsletter melalui "teknologi" mailing list. Multiply sudah eksis, tetapi saya memilih bloging di Wordpress dan (ikutan) berkomunitas di Blogfam. Saya mengalami masa keemasan ekosistem perblogan.
Ketika Kompasiana Berusia 5 Tahun
Ketika Kompasiana berusia balita (5 tahun), tepatnya pada 15 Agustus 2013, akun saya hadir di Kompasiana dan setelahnya mulai aktif. Sebelum tahun itu, saya pernah dikontak teman yang menjadi editor bahasa di harian Kompas, untuk ngeblog di Kompasiana. Namun, saya belum cukuppercaya diri. Sebab, kompasianer yang menulis saat itu rata-rata adalah jurnalis harian Kompas.