Saya bertanya, "Dear ChatGPT, bikinin 5 puisi ala Joko Pinurbo dong ...." Dalam sekejap, dia memenuhi permintaan tersebut. Bagaimana tingkat keberhasilannya? Anda bisa menyimak sendiri dan tentu berhak mengomentarinya.
NAMA Joko Pinurbo dalam khazanah sastra mutakhir Indonesia, bukanlah nama asing. Lelaki bertubuh ramping ini juga dikenal luas dengan nama akronim Jokpin.
Joko Pinurno (selanjutnya saya gunakan Jokpin), memiliki beberapa keunikan. Bukan saja dari sisi sosok penampilannya, tetapi juga pada karya-karyanya. Dalam hal berpuisi, ada yang menjadi signature, ciri khas yang menjadi miliknya pribadi.
Para penikmat atau penyimak karya-karya puisi Jokpin, senantiasa menangkap dua kekhasan utama. Pertama, penyair kelahiran 11 Mei 1962 ini suka menulis secara naratif. Kedua, yang kerap menyeruak dalam kepenyairannya adalah kegemarannya berhumor.
Ada ciri khas lain dari Jokpin, yang perlu diungkap di sini berkaitan dengan "peniruan" puisinya oleh ChatGPT. Tidak semua, tetapi Jokpin punya kecenderungan menulis puisi secara pendek. Mendayagunakan kata dalam jumlah terbatas tetapi memiliki daya ungkit makna yang melenting.
5 Puisi ChatGPT ala Joko Pinurbo
Sesuai permintaan saya, ChatGPT dengan bergegas merespons permintaan saya tersebut. Mesin ini menjawab lugas, "Tentu saja, berikut adalah lima puisi ala Joko Pinurbo." Mari kita nikmati bersama:
Malam
Malam adalah wujud kegelapan
Yang memeluk kita dalam sepi
Bintang-bintang terang menyala
Menuntun langkah kita dalam gelap
Pagi
Pagi adalah awal dari semuanya
Menyapa dunia dengan hangat
Matahari naik, kabut berlalu
Memberi semangat untuk memulai hari
Cinta
Cinta adalah seperti embun di pagi hari
Muncul tanpa permisi, menghilang tanpa jejak
Namun, kesannya terasa dalam hati
Tak pernah lekang oleh waktu
Kehidupan
Kehidupan adalah perjalanan yang panjang
Penuh dengan cobaan dan liku-liku
Namun, kita harus tetap berjalan
Mencari arti dari hidup yang sebenarnya
Alam
Alam adalah taman yang indah
Tempat kita bisa merasakan kedamaian
Pohon-pohon rindang memberikan keteduhan
Burung-burung berkicau menghiasi pagi hari
Seberapa Jokpin Puisi-Puisi ChatGPT?
Itu dia! Bagaimana reaksi Anda?
Pertanyaan paling mendasar yang patut diajukan adalah "seberapa mirip puisi-puisi ChatGPT dengan karya-karya puisi yang lahir dari tangan Joko Pinurbo?" Atau, modifikasi pertanyaan tersebut menjadi, "Seberapa berhasil ChatGPT meniru penulisan puisi Jokpin?"
Bagi Anda yang mengikuti atau sekadar "tahu" atau "pernah" menikmati puisi-puisi Jokpin, mungkin akan segera menolak. Sekilas pintas pun dengan mudah mengenali perbedaannya. Tampak dengan kasat mata, terang benderang.Â
Mari kita takar berdasarkan tiga "parameter" sederhana seperti diungkap di atas. Pertama, puisi-puisi Jokpin cenderung naratif. Meskipun tak naratif secara gamblang, puisi-puisi Jokpin biasanya menggunakan kata-kata yang kuat, bernas, membentuk imaji tertentu.
ChatGPT belum secanggih olah otak dan hati Jokpin--atau penyair sastra pada umumnya. Sebagaimana dia adalah mesin, maka apa yang disebut puisi, diterjemahkan oleh ChatGPT layaknya "membuat" uraian definitif tentang sebuah tema atau topik. Dalam hal ini, kelima puisi tersebut selalu menggunakan kata kunci "adalah".
Kedua, berbasis kecenderungan Jokpin berkelakar dalam puisi-puisinya. Pada kelima puisi di atas, terang-benderang enggak ada lucunya sama sekali. Oke, untuk hal ini, kita maklumi saja.
Ketiga, dari segi formatnya yang pendek, iya sih. Sama seperti Jokpin, bahkan ChatGPT sangat disiplin pada aturannya menggunakan lima baris pada semua puisi di atas. Padahal, dalam memasukkan kalimat permintaan, saya tidak mengetikkan kata "pendek".
Jadi, kalau dibuatkan skor, kedudukan (sementara) adalah 3:1. Hahaha, kayak sepakbola saja.
Pembelajaran Lain
Pada kalimat terakhir, saya menggunakan kata "sementara". Mengapa? Alasannya sederhana saja. Meskipun ChatGPT adalah mesin, tanpa emosi, tak punya kepribadian, dan menjawab dengan pola nonfiksi, lumayan juga cara menyusun kata dalam konteks karya kreatif semacam puisi.
ChatGPT cukup mengagumkan dalam membentang makna melalui olahan susunan kata yang dia usung. Misalnya pada puisi Malam, di larik kedua dia menulis, "Yang memeluk kita dalam sepi"Â . Kemudian pada puisi Cinta larik kedua, kita menjumpai deretan kata, "Muncul tanpa permisi, menghilang tanpa jejak."
Fakta lain yang rasanya perlu digarisbawahi, ChatGPT yang saya gunakan adalah edisi gratisan. Kemampuan ChatGPT yang ini, jauh berbeda dengan kemampuan ChatGPT berbayar.
Selain itu, semakin sering dia digunakan oleh jutaan orang dari seluruh dunia, dia akan semakin pintar. ChatGPT (akan) mengalami lompatan kemampuan. Berlipat-lipat, hingga ia mencapai level tertentu.
Untuk sementara, dia bukanlah mesin yang sempurna. Namun, ini yang krusial, kita baru akan menemukan kesalahannya bila kita bersedia mengembangkan daya pikir kritis. Dengan nalar kepo, kita didorong untuk meriset kebenaran. Sebagai contoh, saya mengajukan pertanyaan, "Siapa Joko Pinurbo?" Dia menjawab:
Joko Pinurbo adalah seorang penyair, sastrawan, dan esais Indonesia yang lahir di Semarang pada tanggal 11 Agustus 1962. Ia telah menerbitkan sejumlah buku puisi yang banyak mendapatkan penghargaan, di antaranya adalah "Sarang Gagak" (1995), "Trivialitas" (2000), "Rumah Kopi Singa Tertawa" (2002), dan "Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi yang Kering" (2012). Karya-karya Joko Pinurbo seringkali mencerminkan tema-tema kehidupan sehari-hari, serta menggunakan bahasa yang sederhana namun kaya akan makna dan metafora. Ia sering dianggap sebagai salah satu penyair paling berpengaruh di Indonesia pada masa kini.Â
Adakah yang salah dari jawaban ChatGPT di atas? Apa saja informasi keliru yang dia berikan? Di sisi lain, informasi akurat apa saja yang dia sajikan?
Buat kita yang pemalas cek-ricek, mudah mempercayai kebenaran palsu atau semu, kita tak akan bisa menemukannya dengan segera.
Pada akhirnya, tak perlu berlebihan dalam bersikap. Jauhlah dari baper. ChatGPT tak usah dimusuhi. Seseorang memberikan testimoni bahwa dia telah menjadikan ChatGPT sebagai "sahabat".
Sebagai seorang "peternak blog", ungkap orang tersebut, setiap bulan dia menghabiskan belasan juta rupiah untuk membayar penulis konten. Namun kini, dia cukup mengeluarkan biaya berlangganan ChatGPT seharga 20 dolar. "Cukup 300 ribu rupiah," ujarnya. Lalu, dia berkata, "Konsekuensinya, saya berhenti membeli artikel dari penulis konten."
Demikian dulu. Pamit dan salam gudeg dari Jogja,
ang tek khun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H