Dear Kompasianer,
Setiap orang, meski berusia dan bergender sama, punya banyak cara. Cara dalam berpikir, cara dalam bersikap, dan cara dalam memanifestasikan perilaku. Termasuk dalam konteks perbincangan ini, perihal hal merayakan Tahun Baru.
Masing-masing kita, secara bawaan "pabrik", memang sudah berbeda. Ditambahi pola pengasuhan, kelompok bermain, pendidikan, dan pengaruh keseharian lainnya. Setipis kertas atau setebal si ekstrover versus si introver.
Namun, seperti semua balapan di dunia, baik mobil atau sepeda motor maupun sepeda, sama saja. Tidaklah penting seseorang mengendarai tunggangan berwarna apa, bermodel bagaimana, dan berasal dari pabrikan mana saja.
Atau, atlet lari misalnya. Dalam lomba dengan ukuran jauh berapa pun. Berasal dari negara mana pun. Tak peduli usia, tak menggubris warna kulit.
Semua mereka dalam semua jenis balapan itu, mengikuti aturan yang sama. Mereka menyepakati prosedural yang sama. Punya hak yang sama. Untuk berjajar di depan, sedekat mungkin pada garis mulai.
Demikian pula, alangkah elok, bila kita memperlakukan Natal dan Tahun Baru ibarat Idul Fitri. Berdiri di depan garis waktu, bersama-sama, menjadikannya sebagai sebuah momentum. Momentum penuh makna untuk meminta (serta memberi) maaf dan memulai langkah baru yang dicatat sebagai reputasi (baru) kita.
Dear Kompasianer,
Sampai di sini, saya teringat pada petikan pariwara di SPBU. "Mulai dari nol, ya."
Dalam keseharian, perihal mendengar, memang kita tidak selalu mendengar hanya kata demi kata dilafalkan sedemikian. Berdasarkan pengalaman pribadi, saban kali saya mengisi bensin, kalimat ini tak pernah terdengar lengkap. Bahkan, lebih dari itu, nyaris tak terdengar.