Waktu kemudian berlalu, hari-hari saya disibuki kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya). Di sela-sela tuntutan kuliah dan kegiatan lain, waktu saya juga semakin tersita untuk rajin menulis dan mengirimkannya ke berbagai media massa, dan menikmati honorarium buat menopang uang saku.
Salah satu majalah remaja yang intens saya ikuti selain majalah Gadis adalah majalah Anita Cemerlang. Berbeda dengan Gadis, majalah Anita Cemerlang menitikberatkan isinya pada fiksi sebab posisinya adalah majalah kumpulan cerpen (kumcer).
Di tahun-tahun saya mulai kurang aktif lagi menulis di majalah Anita cemerlang, saya membaca pemberitahuan bahwa Bens Leo telah bergabung di majalah ini. Ia mengemban tugas sebagai Pemimpin Redaksi dan membawa orientasi baru bagi majalah ini sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman kala itu.
Berlipat-lipat waktu kemudian, saya tak menyangka bila di awal masa pandemi Covid-19, saya masih berkesempatan melihat sosok itu di Yogyakarta. Perawakannya belum juga berupa: Ramping. Seolah tak bisa gemuk adalah ciri khas dirinya yang paling paten.
Kala itu, dalam situasi protokol kesehatan (prokes) ketat, tidak mudah bergerak di antara sekitar 80-an peserta. Mas Bens juga tampak sibuk dengan para senior yang mengampu lokakarya  penulisan yang diusung oleh Kemenparekraf ini. Saya pun mengurung diri untuk menemui dan menyapa empat mata.
Kabar paling anyar yang beredar dan saya baca di WhatsApp Group berkenaan dengan sosok Bens Leo adalah saat ia meluncurkan buku. Judul buku itu adalah "Bens Leo dan Aktuil - Rekam Jejak Jurnalisme Musik". Terasa melegakan, sebab buku ini mengabadikan kiprah yang sangat bermakna.
Lalu, semuanya kini sepenuhnya telah mewujud sebagai kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H