Dipicu oleh hal ini, saya membeli majalah Gadis secara rutin. Sebulan, tiga kali terbit. Banyak ilmu yang membuat pembaca jadi pintar, di samping mendapatkan hiburan yang level informasinya keren. Tak ada penyesalan rutin membelinya, meski uang saku berkurang teratur tiga kali dalam sebulan.
Perhatian saya kemudian semakin meluas, melingkupi rubrik-rubrik lain. Beberapa tulisan tentang musik, mulai menarik perhatian untuk dibaca. Sebagian besar bagi saya, ditulis bukan saja dengan menarik, tetapi juga dengan sudut penceritaan yang berbeda. Dari sini kemudian saya tahu siapa orang di balik itu. Bens Leo!
Dear Kompasianer,
Saya sangat ingat momentum ini, tetapi tidak lagi mampu mengingat bagaimana bisa membaca tentang diri (bio) Bens Leo di majalah itu. Namun, kata kunci yang menggerakkan saya adalah karena diungkap bahwa Bens Leo berasal dari Surabaya sebelum menempuh karier di Jakarta.
Saat itu, saya sedang berdomisili di Surabaya untuk menempuh pendidikan jenjang SMA. Pada momentum itu, saya sedang berpikir keras akan kuliah apa dan di mana. Di antara sedikit yang menarik perhatian, salah satu alternatif yang terpikirkan adalah hijrah kuliah ke Jakarta.
Minimnya sumber informasi tentang kehidupan perkuliahan dan dunia akademik usai SMA pada era itu, membuat saya nekat. Saya menyurati "kakak asal Surabaya" itu. Untuk bertanya, meminta informasi, dan berkonsultasi sebagai masukan buat pergumulan saya.
Saat mengirimkan surat itu, saya tak berani berharap banyak dan muluk. Namun kenyataan berkata lain. Rupanya surat saya diterima dan ditangani dengan sangat baik oleh pihak majalah Gadis. Surat menggunakan perangko itu sampai di meja redaksi Mas Bens. Dan, fantastisnya bagi saya kala itu, dibalas olehnya. Itu sangat berarti buat seorang saya.
Surat bersejarah itu tak ada lagi dalam genggaman saya. Namun, peristiwa kecil dengan kenangan besar itu terpatri lekat dalam ingatan. Apalagi, surat tersebut tidak dituliskan menggunakan mesik ketik. Melainkan menggunakan tangan. Ya, tulisan tangan seorang Bens Leo.
Saya tak pernah berani berharap sedemikian besar, itu pula sebabnya terasa manakjubkan. Seseorang dengan status dan (pastinya) sesibuk jurnalis dan "aktivis" musik Bens Leo, masih berkenan mambaca dan menjawab surat seorang "anak kecil" di antara banyaknya surat yang mungkin ia terima setiap hari saat itu.
Dear Kompasianer,
Pada akhirnya, hijrah ke Jakarta tidak pernah menjadi buah pilihan saya untuk menempuh kuliah. Melalui banyak pertimbangan, saya menemukan ketetapan untuk berdomisili di Surabaya. Namun tetap saja pilihan itu terjadi, yaitu fakultas yang saya incar dan jadi pilihan, berada di bawah pengaruh majalah Gadis.