Perihal mencuci rice cooker, airnya selalu dibuang di tanah belakang. Sekaligus menyuguhi kerak nasi kepada burung-burung yang datang setiap pagi. Kami mengusahakan, membuang sebanyak mungkin air cucian piring ke halaman bertanah. Ada pula aturan, di mana saja setiap kali mencuci tangan dengan sabun, keran harus dimatikan sesuai jeda.
Rumah kami punya banyak jendela. AC eco friendly hanya di kamar tidur. Pada kondisi normal, suhu tidak boleh lebih dari 24 atau 25 derajat. Yang menarik, soal AC mobil. Kami menyalakanya usai meninggalkan kompleks rumah. Tangan kami otomatis mematikannya saat mendekati kompleks rumah atau halaman parkir tempat yang dituju.
Beberapa tahun terakhir, kami menerapkan hidup minimalis. Kami punya lapak barang bekas di 2-3 aplikasi sesuai apa yang akan "dilepas". Beberapa teman turut meminta bantuan menjualkan. Sebuah teko dan gelas-gelas, baru saja terjual. Bahagianya melampaui nilai uangnya.
Benda-benda plastik kami kumpulkan dan "disalurkan". Ada bekas air mineral dan gelas minuman plastik. Demikian pula tiga kategori ini, yaitu (1) duplex: kertas bungkus apa pun, kertas warna, dos-dos seperti nasi kotak; (2) kertas putih; dan (3) karton-karton secara berkala kami jual kiloan. Di Yogyakarta, ada penampung yang menjadi penyuplai pabrik kertas.
Jelas kami menolak sedotan dan sendok plastik. Ini biasanya jadi pesan di aplikasi. Plastik bekas besar kami gunakan sebagai celengan. Jika meninggi, kami bawa ke teman yang berjualan untuk ditukarkan. Ini sekaligus cara kami meneladankan edukasi menabung kepada anak sejak kecil.
Ada banyak lagi kisah lainnya, tetapi terlalu panjang untuk dituliskan. Semua itu tidak terjadi dalam semalam. Sebagaimana ungkapan atau peribahasa, "Rome wasn't built in a day." Perlu membangun kebiasaan kecil, berulang terus-menerus, Atomic "Nenek" Habits. Cobalah, try this at home.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H