Survei ini dilakukan terhadap 1529 responden di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Survei Alvara ini dilakukan dengan metode multistage random sampling, pada 20-31 Maret 2022.
Dalam pemuatan di Dataindonesia.id tergambarkan bahwa Gen Z mudah cemas dan stres. Terdapat 28,3% responden Gen Z yang mengaku cemas, di mana 23,3% merasa cemas dan 5% lagi sangat cemas.Â
Di kalangan responden Gen Milenial, responden yang cemas sebesar 28,1%, terdiri dari 23,5% milenial yang merasa cemas dan 4,6% sangat semas. Di Gen X, hanya 24,1% responden yang merasa cemas, di mana 21,3% yang merasa cemas dan 2,8% sangat cemas.
Tingginya tingkat kecemasan Gen Z menurut Alvara disebabkan karena mereka belum punya banyak pengalaman dalam menghadapi tekanan. Itu sebabnya Gen Z mudah pindah kerja dan mencari lingkungan kerja yang cenderung nyaman tanpa tekanan tinggi.
Sebagai konsekuensi, mencuatlah "kebutuhan" healing dalam percakapan di media sosial. Terkait ini, psikolog klinis Veronica Adesla menerangkan kepada Kompas.com bahwa istilah "healing" yang kerap digunakan di media sosial, self healing untuk itu bisa berupa liburan.
"Bisa saja liburan menjadi self healing kalau misalkan aktivitas yang dilakukannya selama liburan tersebut memang membantu yang bersangkutan untuk memulihkan dirinya dari kelelahan fisik maupun mental yang mungkin sedang dialami," lanjut dia.
Victoria Maxwell dalam artikelnya The 6 Steps of Healing You Need to Know: How to reset to wellness di Psychology Today mengungkapkan bahwa "healing is a natural by-product". Artinya, setiap kita memiliki daya tahap cemas dan stres secara bawaan.
Itu sebabnya seiring membanjirkan penggunaan istilah ini, healing tak selalu harus direspons sebagai gangguan yang membutuhkan pertolongan profesional melalui sesi-sesi terapi dalam periode tertentu.
Bagi Victoria, healing perlu didefinisikan dalam makna yang lebih luas. Healing tidak selalu berarti mengurangi level gejala [penyakit], mengurangi masa rawat inap di rumah sakit, atau kembali ke tingkat fungsi sebelum sakit.