Mengenali ulang Candi Borobudur dan memahami jejak gerakan "Sound of Borobudur" di mana Borobudur menjadi pusat musik dunia, membuat kita menatap peluang terwujudnya Wonderful Indonesia melalui balutan Storynomic Tourism
_
SEORANG petinggi media asal Amerika, dibuat terpikat. Di pengujung kunjungan, matanya berbinar. Kata-kata yang terucap olehnya, bernas dibalut ekspresi kagum.
Sepulang ke negerinya, ia pun lekas menerbitkan sebuah artikel refleksi yang didasarkan pada kisah fabel dari relief yang didengar dan disaksikannya saat itu. Tulisannya yang menukil kisah kura-kura, manis dan memukau banyak pembaca.
Semua itu bermula kala ia terbang dari Michigan dan tiba di Indonesia. Kami mengajaknya ke Yogyakarta dan membawanya berkunjung ke Candi Borobudur. Di sana, insights membuncah di benaknya.
Ia mungkin tak menyangka. Dalam perjalanan panjang untuk menjejak Jakarta, ia masih harus menambah jam duduk untuk tiba di tempat yang namanya mirip. Lalu, menempuh jalan darat. Dan, aha! Ia pun menjumpai peradaban tinggi di kawasan "antah-berantah" yang kita sebut Borobudur.
Apa yang terjadi padanya? Dalam satu kali kunjungan, ia masuk dalam daya pukau Borobudur. Rahasianya, tak selazim jutaan pengunjung, kami mengajaknya mengikuti "tata laksana" yang semestinya. Dimulai dari menonton film dokumenter tentang Borobudur, lalu meniti jalur yang seharusnya dalam mengitari format Mandala Candi Borobudur untuk menikmati panel-panel relief dalam urutan yang semestinya.
Apa yang berkecamuk dalam dirinya? Â Itulah "sihir" storytelling!
Candi Borobudur dan Kekayaan Kisahnya
Candi Borobudur bukan untuk dikagumi secara data atau informasi, semisal dibangun dengan puzzle dua jutaan bongkah batu vulkanik tanpa semen dengan masa kerja 75 tahun. Atau, bangunan raksasa dari wangsa Syailendra yang menampung 1.460 panel relief cerita, 1.212 panel relief dekoratif, dan 504 stupa.
Lebih dari itu, Borobudur adalah mahakarya dengan pesona dan kedalaman inspirasi bak kitab terbuka yang tak tandas ditimba dalam menggali lelaku para leluhur serta warisan kebijaksanaan hidup yang tak lekang oleh waktu.
Prof. Dr. W.F. Stutterheim (1929) memandang Candi Borobudur sebagai "replika" dari alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas Kamadhatu (unsur nafsu); Rupadhatu (unsur wujud); dan Arupadhatu (unsur tak berwujud).