"Tulislah pengalamanmu saat menonton fIlm Indonesia di bioskop untuk  pertama kalinya."
Itulah tajuk tantangan yang disodorkan oleh Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub (KOMiK). Komunitas Kompasianer Pencinta Film ini sedang berepot-repot mengajak keterlibatan kompasianer untuk meramaikan "perayaan" Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret 2021.
Tantangan yang ketiga ini, bagian dari tujuh tantangan "maut" yang dilayangkan penyelenggara. Berhasil membuat saya terduduk dan mencoba mengenang masa kecil di kota kelahiran. Terbayang gambaran besar tentang bioskop dan film layar lebar yang hadir di kota tercinta.
Pada era itu, kala masih duduk di rentang duduk bangku SD dan SMP, saya tidak bisa mengingat banyak hal secara detail. Ada dua alasan utama. Pertama, saya jarang menonton film di bioskop, kala itu. Keluarga saya juga jarang nonton--kecuali ada film yang menjadi buah bibir di mana-mana.Â
Kalau menonton sendirian? Yahh, kan masih kecil. Lagi pulang, di kota kecil seperti Donggala, amatlah aneh kalau ada anak bercelana pendek dan ingusan nonton sendirian.
Kedua, peraturan di bioskop zaman dulu itu, tegas! Ini berkenaan dengan usia penonton sesuai dengan usia tontonan. Teramat ketat! Saya ingat, satu-dua kali saya digandeng orangtua untuk nonton bertiga. Ajakan yang semula happy ini, berakhir dengan kekecewaan. Di depan bioskop, ada petugas yang galak. Menolak saya masuk karena belum cukup umur. Maka, orangtua saya pun batal nonton. Coba zaman itu ada Go*send, kali-kali saya dikirim pulang sendirian.
Film Indonesia yang pertama kali saya tonton?
Apa, ya?
Saya mencoba berpikir keras sejak siang, saling diluncurkannya tantangan itu. Dan, gagal. Namun, ada film Indonesia yang lekat dalam ingatan saya. Entah itu yang pertama atau bukan. (Maafkan saya, panitia.) Judulnya keren, "Koboi Sutra Ungu"!
Ini film apaan sih?
Ekspektasi saya sebelum nonton, ini film "lawakan garing yang aji mumpung". Sebab, yang main dan jadi andalan laku adalah grup band ternama (saat itu!) bernama "Pancaran Sinar Petromaks". Lengkapnya, Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (disingkat OM PSP). Ini adalah sekelompok anak band (mahasiswa semua kayaknya) yang menghumorkan lirik-lirik lagu dangdut.
Untuk mengingat film dan band ini, saya menyempatkan diri membuka Wikipedia. Hola! Ada! Saya memeroleh informasi bahwa grup ini eksis pada paruh akhir dekade 1970-an. Kelompok ini terutama menyasar kalangan mahasiswa dan dewasa muda sebagai segmen pasarnya.
Menurut info, OM PSP sering bersanding dengan Warkop DKI (yang lagi jaya-jayanya saat itu).OM PSP dikenal sangat kreatif memplesetkan lagu-lagu dangdut yang popular pada tahun 1960-an dan 1970-an. Eh, ya, mereka juga sempat bikin lagu sendiri, yang ngetop abiss. Itu sebabnya mereka dikenal sebagai pelopor dangdut kocak.
Ekspektasi mula-mula saya, sebelum layar bermain, saya akan menonton film yang tidak akan seru. "Bisa apa sih mereka main di film, dengan hanya berbekal kompetensi memplesetkan lirik lagu? Namun saya tetap menonton, sebab sangat ngefans pada mereka itu.
Begitu film main, saya dibuat terkejut. Ada adegan menggeret di padang gurun tandus. Oleh seorang koboi. Kamera bergerak perlahan. Pada ujungnya, eh yang digeret gitar! Ups, pukulan awal yang ngena di saya!Â
Ternyata saya salah. Film ini digarap dengan baik dan ceritanya bukanlah picisan. Waktu itu, jelaskah saya belum tahu siapa itu Nya' Abbas Akup, yang jadi sutradara dan penulis skenario. Â Begitu juga, siapa Deddy Armand yang turut menulis skenarionya.
Yang beginian kelak kemudian saya saya tahu adalah jenis (film) parodi. Setiap pemain, dalam topik perbincangan OM PSP, yang biasanya "cuma" cuap-cuap bibir, ehh.. bisa berakting juga.
Begitulah jadinya... Tantangan ketiga KOMik ini dan ingatan akan film "Koboi Sutra Ungu" membuat saya merindukan dua hal ini. Pertama, kapan ya ada kelompok band yang main plesetan lirik lagi. Kedua, asyik saja kalau film-film parodi menjadi tren lagi. Memperbanyak alternatif film tontonan.
Jika ada lagi yang seperti ini, pasti dunia hiduran (khas) Indonesia akan semarak! Apa yang OM PSP dkk hadirkan pada masa itu, sangat membumi dan mudah diterima audiens Indonesia, sebab dekat dalam hidup keseharian kita.
Itulah kekuatan mulok--muatan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H