Kabar itu tiba lebih cepat dari yang dapat kubayangkan.
Lis menggamitku. Bertenaga. Lebih mirip bila disebut mencengkeram. Dengan tarikan memaksa, ia menyeretku ke pojok kantin yang sepi.
Usai jam istirahat terakhir, Bu Rachman kerap segera berberes. Itu sebabnya bila tiba jam pulang, kantin telah temaram. Sosok-sosok yang berhamburan keluar ruang kelas, selalu berlomba mencapai area parkir—bukan kantin.
Lis mendorong tubuhku ke dinding terdekat dari pintu masuk. Lalu, menatapku tajam. Napasnya memburu. Menikam ulu hatiku dengan tusukan belati melalui sorot matanya. Terasa menancap lurus dan jleb!
Tertunduk, aku menyelamatkan mataku dari marabahaya. Jika sudah begini, lebih baik mengosongkan benak dan melipat-lipat ujung baju seragam. Namun, dunia kecil tempat aku menyelamatkan detak jantung itu, tak berumur panjang. Lengannya melesat ke sisi kanan mataku. Menyandarkannya ke tembok. Tubuh Lis begitu dekat, mengepung dengan agresif. Lengan kanannya, berkacak di pinggang.
"Tunggu di sini, jangan pergi sebelum dia tiba," ancamnya sebelum berlalu. Membuat aku merasa terbebas dan merdeka. Namun, tetap mematuhinya. Tidak lari dari kantin seperti seorang pecundang.
Matahari terasa lebih gegas rebah. Pendar cahayanya yang menyelinap masuk lewat ventilasi kantin, menggores miring. Di antara tebar sunyi, detak langkah itu tiba. Kukenali. Perlahan, dan duduk di sisiku.
Thia!
Kami bertukar pandang. Kuberikan sebuah senyum. Rasanya itu adalah senyum terbaik yang mampu kuusahakan. Lahir dari hasil menghimpun energi dan debur dada yang galau.
"Selama beberapa bulan terakhir ini," Thia memecah sunyi. "Aku rajin berdebat dengan Lis. Dia selalu bersikukuh bahwa di antara kita tidak hanya ada persahabatan. Tapi juga cinta ...."
Aku terkesiap.
"Namun, aku selalu menang debat,” desau Thia tanpa nada kemenangan. “Dan, selalu saja berakhir dengan umpatan darinya, bahwa kau lelaki paling bodoh sedunia!"
Aku tersenyum. Masam sekali. Rasanya lebih kecut dari asam jawa.
"Semalam, aku mencoba WA," ujarmu kemudian. “Namun tampaknya kau terlalu sibuk untuk menyisihkan waktu menjawabnya.”
Aku melemparkan pandangan. Jauh. Ke ujung trotoar sekolah yang tertangkap dari bingkai jendela.
"Aku ingin kau orang pertama yang tahu bahwa cowo yang kita kenal itu, yang selalu mengitariku itu, kembali menyatakan cinta. Dan kali ini, aku memberinya anggukan."
Tiba-tiba, mataku gelap. Lalu, ada seribu burung terbang berhamburan dari dalam dadaku. Menyisakan sangkar kosong. Namun, ada pula seribu telunjuk, tiba-tiba menusuk ke arahku. Melengkingkan tawa dengan bahana sinis.
"Kamu tuh, ya!" pekik Lis di WA tadi, sebelum ia tampak mabuk dan menyeretku ke kantin ini. "Lelaki paling bodoh yang pernah kukenal! Cinta itu harus diperjuangkan, man!"
“Aku tahu apa itu perjuangan, Lis,” balasku. “Tapi, bukankah cinta harus tumbuh di kastanya yang setara? Kamu tahu sekali, siapa aku. Siapa keluargaku. Dan, bagaimana aku harus menjalani hidup ini.”
“Goblok!”
Itu jawaban WA Lis yang sempat kubaca. Hanya kata itu. Sebelum ia tiba-tiba bak banteng kesurupan, menyeretku ke sini.
Kutatap wajah Thia. Panorama indah yang kuragu mampu menjangkaunya. Kutatap senyum Thia. Manis, sebuah rasa yang tak familiar untuk hidup yang lebih kerap disinggahi kepahitan.
Di antara debar di dada, kudengar bisikan suara ibu. "Hidup ini harus diperjuangkan, Nak! Kalau pulang sekolah, buruan. Kadung matahari hilang. Jemuran gak kering. Pelanggan laundry ibu akan komplen!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H