"Namun, aku selalu menang debat,” desau Thia tanpa nada kemenangan. “Dan, selalu saja berakhir dengan umpatan darinya, bahwa kau lelaki paling bodoh sedunia!"
Aku tersenyum. Masam sekali. Rasanya lebih kecut dari asam jawa.
"Semalam, aku mencoba WA," ujarmu kemudian. “Namun tampaknya kau terlalu sibuk untuk menyisihkan waktu menjawabnya.”
Aku melemparkan pandangan. Jauh. Ke ujung trotoar sekolah yang tertangkap dari bingkai jendela.
"Aku ingin kau orang pertama yang tahu bahwa cowo yang kita kenal itu, yang selalu mengitariku itu, kembali menyatakan cinta. Dan kali ini, aku memberinya anggukan."
Tiba-tiba, mataku gelap. Lalu, ada seribu burung terbang berhamburan dari dalam dadaku. Menyisakan sangkar kosong. Namun, ada pula seribu telunjuk, tiba-tiba menusuk ke arahku. Melengkingkan tawa dengan bahana sinis.
"Kamu tuh, ya!" pekik Lis di WA tadi, sebelum ia tampak mabuk dan menyeretku ke kantin ini. "Lelaki paling bodoh yang pernah kukenal! Cinta itu harus diperjuangkan, man!"
“Aku tahu apa itu perjuangan, Lis,” balasku. “Tapi, bukankah cinta harus tumbuh di kastanya yang setara? Kamu tahu sekali, siapa aku. Siapa keluargaku. Dan, bagaimana aku harus menjalani hidup ini.”
“Goblok!”
Itu jawaban WA Lis yang sempat kubaca. Hanya kata itu. Sebelum ia tiba-tiba bak banteng kesurupan, menyeretku ke sini.
Kutatap wajah Thia. Panorama indah yang kuragu mampu menjangkaunya. Kutatap senyum Thia. Manis, sebuah rasa yang tak familiar untuk hidup yang lebih kerap disinggahi kepahitan.