Namun sebagai seseorang yang merasa (dan cukup ge-er) diberi karunia kreativitas, secara naluriah saya melakukan pencarian sudut pandang, sesuatu yang kini disebut dengan nama keren: Branding. Melalui proses ini, saya menemukan, bahwa satu-satunya cara tampil agar tak minder dengan jurnalis kawakan itu, saya akan mengisi akun Kompasiana ini dengan puisi-puisi. Oya, sebagai catatan, di masa itu nama saya mulai menanjak sebagai salah satu penyair newbie potensial Indonesia. [Ehem! Kala itu Jokpin ada di mana, ya?]
Harapan dan impian yang membubung selalu seharga dengan biaya jatuhnya! Itu yang saya alami dan rasakan, tatkala menemukan poin aturan main bahwa Kompasiana tidak menerima konten berupa puisi dan fiksi (?). [Maaf bila ingatan ini mengandung buram keliru tafsir.] Maka, di sinilah  titik tumpu riwayat akun lawas Kompasiana saya ini kemudian tak pernah berpenghuni.
Ada proses panjang dan nelangsa dalam batin, hingga saya memilih mlipir dan menemukan keasyikan ngeblog di Instagram---alih-alih mengucapkan selamat berpisah atau mendua hati. Seiring dengan membaiknya kinerja mesin Kompasiana kini, saya sedang menapakkan kaki di jalan kembali. Bukankah orang bijak berucap, "rindu selalu menemukan jalan untuk pulang."
Di masa-masa sulit berkompasiana itu, banyak pertanyaan dan kegelisahan yang menggaung. Beberapa orang tak mengerti mengapa saya enggan berpindah ke "lain hati". Ada yang bertanya, mengapa saya tidak membangun dan membesarkan blog pribadi saja. Beberapa orang lagi, "mem-bully" di sisi loyalitas.
Kesempatan ini tampaknya adalah waktu terbaik bagi saya untuk memberi tahu secara lugas bahwa inilah cara saya membalas utang budi. Di masa saya merantau ke Pulau Jawa dan kuliah di Surabaya, honor-honor dari koran dan majalah Kelompok Kompas Gramedia turut membiayai kuliah saya. Meringankan dompet saya untuk membeli ini dan itu dalam keperluan sesehari. Melalui media-media Kelompok Kompas Gramedia ini pula saya banyak belajar ilmu menulis, langsung maupun tidak langsung. Beberapa sosok, seperti Arswendo Atmowiloto saat membina banyak newbie melalui Majalah Hai, menjadi guru tanpa kelas. Bahkan hingga kini, saya belum berhenti belajar menulis feature yang kental dan bernas melalui beberapa nama jurnalis di edisi Kompas Minggu.
Ini juga adalah cara "kecil" saya memberi tahu semesta bahwa "tidak semua kacang lupa akan kulitnya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H