Kita kerap dan secara organik gemar diikat oleh tali emosi. Jika membelit dua insan, maka "move on" adalah dua kata yang terasa patut dienyahkan dan sia-sia untuk diperdebatkan. Kekerabatan pun demikian. Meski tak luput getas dan getir, ia terus dibangun—seperti Presiden Jokowi rajin membangun infrastruktur ;)
Ini contoh sederhana dan hal lazim di negeri ini. Dua orang yang saling mencintai, tidak menuju gerbang pernikahan sebagai 1 + 1 = 2. Terdapat dua "serikat persaudaraan" yang riuh mendeklarasikan "kita bersaudara". Yup, bukan sekadar menyatunya dua orang. Namun dua keluarga besar.
Di luar kekerabatan, ada lagi yang bernama persahabatan. Ia dibangun di berbagai ranah: sekolah/kampus, dunia gaul, dan tentu saja dunia kerja. Bahkan ada yang bilang sahabat kerap lebih kokoh dan mengasyikkan daripada saudara.
Buah Tangan: Doeloe dan Tren Kekinian
Meskipun tidak tercantum dalam GBHN atau TAP MPR, membeli dan membagikan oleh-oleh telah lama menjadi konsensus nasional. Tindak ini rasanya dekat dengan "ungkapan syukur telah tiba dengan selamat dari bepergian".
Ketika kesantunan teramat erat di masa lampau, mengantarkan buah tangan adalah sikap proaktif sebelum terdengar kalimat lugas masa kini yang tak lagi "malu-malu kucing" diucapkan, "Jangan lupa bawain gue oleh-oleh, yakk...."
Perubahan era juga merujuk pada bergesernya definisi buah tangan. Doeloe, oleh-oleh dimaknai sebagai sesuatu yang khas dari satu daerah. Cenderung produk tradisional, sepenuhnya ber-"muatan lokal". Apel dari Malang, Petis dari Sidoarjo, Bakpia dari Jogja, Peuyeum dari Bandung, Loenpia dari Semarang, dan seterusnya. Meminjam penggal lead di Kompas (30/4/2017) dalam tulisan "Tak Sekadar Lezat Disantap", oleh-oleh "bukan sekadar produk yang lezat kala disantap, melainkan juga artefak kekayaan lokal yang kadang memiliki ikatan panjang dengan pelaku-pelakunya."
Kini, pengertian buah tangan kian perlu didefinisi ulang. Oleh-oleh juga menjangkau pengertian sebuah produk, dari mana pun silsilah nenek moyangnya, asal dibuat secara "massal" dan dikenalkan secara "masif" serta dilokalisir di sebuah daerah, ia akan menjelma menjadi oleh-oleh "baru" dan bernilai "lokal".
Buah tangan kekinian ini digerakkan oleh tiga ciri energi. Ia diproduseri oleh artis (baca: pesohor, influencer), dilakoni oleh Generasi Langgas (Milenial), dan dimasifkan melalui media sosial (baca: platform, buzzer). Sebagai catatan, para pesohor ini secara teori akan mampu mengkapitalisasi fansnya sebagai captive market. Sementara Instagram, adalah platform media sosial Instagram adalah ujung tombak paling tajam.
Hasilnya? Luar biasa! Kompas dalam laporan bertajuk "Berburu Oleh-oleh Rasa Artis" (30/4/2017), mengisahkan seorang bernama Dewa yang berjibaku antre sejak pukul 03.00 untuk mendapatkan buah tangan kekinian ini di Bandung. Demikian pula cerita situasi di Malang, Bogor, dan Medan. Sayang Kompas melewatkan liputan topik ini dari Jogja.
Mengutip pakar komunikasi dan budaya pop, Idi Subandy Ibrahim, Kompas menulis, “Oleh-oleh dapat diartikan sebagai alat komunikasi bahwa dia mempunyai kedekatan dengan seseorang. Artinya, bagi orang-orang yang membeli kue-kue milik pesohor, itu adalah salah satu cara mereka untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan sang idola.”
Lalu satu masa datang, saat ilmu, profesi, atau konsultan finansial eksis. Tatkala sistem jaminan pensiun atau bahkan asuransi terasa “begitu” saja, maka melek dan kecerdasan finansial membantu banyak kalangan untuk mengelola keuangan jauh berlipat ganda lebih baik. Terutama bagaimana menjaga keberlangsungan (ekonomi) masa depan.
Next, jauh lebih progresif daripada sekadar passive income, menyebarlah spirit berwirausaha. Paparan rendahnya angka statistik kewirausaan di negeri ini, menjadi shock therapy yang kemudian menyadarkan banyak orang dan membangkitkan motivasi. Kecil-kecilan, tidak apa-apa. Gagal? Ah, bukankah itu adalah sukses yang tertunda?
Dalam kasus bisnis buah tangan ini, layak pula dicermati tiga hal konkret ini: berkontribusi membangkitkan potensi kreatif, ekonomi lokal/daerah, dan peran nyata dalam menyerap tenaga kerja.
Dari Jogja Lahir MAMAHKE
Sebagai destinasi wisata populer dan favorit, Jogja teramat menawan untuk dilirik. Rasanya tidak berlebihan bila bisnis buah tangan kekinian juga hadir di sini. Tidak hanya satu, yang kedua pun terbilang. Tercatat sebagai hari baik, Jumat, 19 Mei 2017 lahir MAMAHKE dari rahim pasangan Zaskia Adya Mecca dan Hanung Bramantyo. Menempati lahan di Jalan Taman KT 1/329, itulah outlet utama (belum buka cabang) MAMAHKE. Hanya sepelemparan batu dari Taman Sari, tak jauh dari Pasar Ngasem, Yogyakarta.
Kisah ini bermula dari kegelisahan akibat nganggur kala Zaskia Adya Mecca (dan keluarga) berlibur di Jogja. Sebagai selebritas dan ibu bagi anak-anaknya, kehidupan "normal" di Jakarta adalah sibuk kerja, mengantar anak sekolah, dan aktivitas lain. Maka tak pelak, berlibur di Jogja kerap membuatnya "mati gaya". Kondisi ini berubah menjadi positif manakala Zaskia berkolaborasi dengan ibu Hanung yang memang berbisnis katering.
"Itulah topik baru 'pertengkaran' saya dan Hanung," curhat Zaskia Adya Mecca dan mendapat lirikan mata Hanung Bramantyo saat pasangan artis dan sutradara keren ini beramah-tamah dengan puluhan bloger. Bukan sekadar bisnis, ada idealisme warga Jogja yang harus dituruti.
Profil MAMAHKE
Brand MAMAHKE dapat dibaca harfiah dalam bahasa Indonesia sebagai "kunyahkan". Namun, tak urung Anda diizinkan untuk menafsirkan sebagai Mama's Cake. Yang pasti urusan (nama) merek serta logo ini, sepenuhnya dalam kendali Hanung yang memperjuangkan idealisme untuk mengusung kekhasan lokal.
- Mamahke Red Velvet, didominasi tumpukan cake bermandikan warna merah memeluk puff pastry dan krim buah bit segar, plus keju yang gurih.
- Mamahke Green Tea, memberi cara baru menikmati "teh", kolaborasi cake lembut rasa teh hijau berpadu dengan puff pastry yang memberi sensasi.
- Mamahke Cheese, ini memenuhi selera para penyuka cheese sejati yang bersama krim cheese yang gurih, membalut puff pastry.
Kemasan Unik untuk Keuntungan Konsumen
Yang tak terelakkan untuk dipuji, adalah kesigapan MAMAHKE dalam menyiapkan kemasan yang tampak sepele namun berniat memberi banyak benefit bagi konsumen. Kotak yang menampung rentang cake yang telah dipotong-potong ini tidak berbentuk bukaan yang lazim. Ia kokoh dalam format laci (slorokan) sehingga sangat tahan guncangan. Sisi pendek dari "laci" selain memberi informasi varian di dalamnya, juga memuat nomor telepon dan petunjuk letak Expired Date.
Bagi penyuka cake, mencicipi MAMAHKE secara sepintas mungkin tidak akan menemukan sisi istimewa. Mungkin hanya "enak", belum pakai "banget". Namun, benarkah demikian? Tidak ada istimewanya? Aha! Akhirnya saya menemukan rahasianya!
Begini, usai menikmati lebih dari satu potong (tester) MAMAHKE, mata saya pun berbinar bagai Columbus menemukan Amerika. Saya menjumpai jurus rahasia MAMAHKE. Yup, rahasia itu terletak pada "lempengan" chruncy yang diletakkan di belahan tengah setiap varian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H