Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasar Yakopan 2016: Antara HUT Bentara Budaya dan Jakob Oetama, dengan Iringan Jazz Mben Senen

27 September 2016   10:50 Diperbarui: 27 September 2016   11:41 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam, seperti berhari-hari lainnya, hujan tak alpa tiba di kota Yogyakarta. Kali ini, turut meningkahi harmoni musik jazz di pojok Jalan Suroto, di kawasan Kotabaru. Pengunjung tak surut hadir, mempersempit halaman yang dihuni kios dan lapak jualan. Pelataran yang tergenang air, dinikmati sebagai bagian dari paket pementasan. Seorang perempuan bule tak berkeberatan menyelamatkan sepatu namun membiarkan kakinya menghuni genangan.

Jazz Mben Senen, demikian nama acara musik jazz rutin saban hari Senen yang biasanya mencabik-cabik langit malam dari pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), kali ini beraroma beda. Ia disusupi kompilasi variatif dan kemeriahan yang memenuhi satu sisi dalam kompleks kantor cabang harian Kompas.

Anak-anak muda di Jazz Mben Senen (Foto: @angtekkhun)
Anak-anak muda di Jazz Mben Senen (Foto: @angtekkhun)
Usai satu-dua lagu yang disajikan sekelompok anak muda yang menaruh minat tinggi pada musik jazz, tiba serangkaian unjuk karya kelompok Acapella Mataraman yang memecah keramaian dengan lagu-lagu khas bernuansa lokal. Tampil interaktif dengan penonton, sana-sini terlibat dalam guyonan, kelompok nyanyi bermodalkan bebunyian dari organ tubuh semata ini mendapat sambutan antusias.

Acapella Mataraman (Foto: @angtekkhun)
Acapella Mataraman (Foto: @angtekkhun)
Acapella Mataraman (Foto: @angtekkhun)
Acapella Mataraman (Foto: @angtekkhun)
Berselang kemudian, Romo Sindhunata selaku kurator, didaulat tampil ke depan untuk memotong tumpeng, lalu menyampaikan serangkaian ucapan syukur atas kiprah Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dalam rentang usia 34 tahun.

Romo Sindhunata sedang memotong tumpeng (Foto: @angtekkhun)
Romo Sindhunata sedang memotong tumpeng (Foto: @angtekkhun)
Romo Sindhunata menyerahkan tumpeng secara simbolik (Foto: @angtekkhun)
Romo Sindhunata menyerahkan tumpeng secara simbolik (Foto: @angtekkhun)
Senen malam yang jatuh pada tanggal 26 ini memang istimewa. Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) seddang berulang tahun, sekaligus ditandai sebagai pembukaan Pasar Yakopan, dan malam "midodareni" HUT pemimpin puncak Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Bapak Jakob Oetama ke-85. Maka, Anda pun boleh membayangkan betapa seru keramaian semalam. Tingkah deras hujan hanya menepikan orang-orang dari basah, tak mampu membendung sejumlah tokoh pegiat seni budaya yang menyempatkan diri untuk hadir.

Pengunjung mamadati pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) (Foto: @angtekkhun)
Pengunjung mamadati pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) (Foto: @angtekkhun)
HUT Bendara Budaya Yogyakarta (BBY) Dalam Nuansa Syukur

Bendara Budaya, lembaga kebudayaan yang lahir dari rahim Kelompok Kompas Gramedia (KKG) pada 26 September 1982 ini, baru saja menerima Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Jumat, 23 September 2016. Ini melengkapi Anugerah Adhikarya Rupa 2014 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf)—sebuah penghargaan di bidang kebudayaan dan ekonomi kreatif.

Salah seorang pengisi acara (Foto: @angtekkhun)
Salah seorang pengisi acara (Foto: @angtekkhun)
Bentara Budaya yang bermakna "Utusan Budaya" ini memang lahir pertama kali di kota Yogyakarta, sebelum bereksistensi pula di Jakarta (26 Juni 1986), Solo (31 Oktober 2003), dan Bali (9 September 2009). Dalam artikel berjudul "Bentara, seperti Sebuah Kebetulan yang Indah" (Kompas, 24 September 2016) CAN menuturkan penggalan kisah tentang cikal bakal lahirnya lembaga ini. "Suatu saat Pak Jakob Oetama, salah satu pendiri Kompas, datang ke Yogyakarta, mengunjungi Toko Buku Gramedia di Jalan Sudirman. Direncanakan, toko buku akan dipindah ke gedung sebelah karena gedung lama terlalu kecil,” tulisnya.

Suasana yang cair dan interaktif (Foto: @angtekkhun)
Suasana yang cair dan interaktif (Foto: @angtekkhun)
"Romo Sindhunata, waktu itu wartawan muda harian Kompas, bilang, 'Pak, apa arti bisnis itu untuk Kompas?' Pak Jakob balas bertanya, 'Lalu menurut kamu, untuk apa' Jawab Sindhunata, 'Misalnya untuk ruang pameran seni. Di Yogya ini banyak seni pinggiran dan seniman tradisional yang tidak mempunyai ruang untuk menunjukkan karya dan kegiatannya,'” lanjutnya.

"Tanpa banyak pertimbangan, Pak Jakob langsung bilang dan memutuskan, 'Ya sudah, kamu buat, bersama teman-teman lain,'" demikian pungkasnya. Sejak itu, dimulailah proses untuk melahirkan Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) hingga tiba saatnya diresmikan sendiri oleh Jakob Oetama. Patut dicatat bahwa Bentara Budaya hadir secara unik, karena dalam pengelolaannya lembaga ini selalu ditangani oleh wartawan Kompas dan kental dalam corak jurnalistik. Artinya, pentas atau pameran yang diadakan sebisanya ditampilkan dalam satu paket dengan pemberitaan di harian Kompas.

Romo Sindhunata sedang memberikan sambutan (Foto: @angtekkhun)
Romo Sindhunata sedang memberikan sambutan (Foto: @angtekkhun)
“Apa yang kamu pentaskan di panggung atau pameran yang hanya dilihat puluhan atau ratusan orang, “ pesan Pak Jakob, “harus bisa kamu olah jadi ‘pentas berita di koran’ yang dibaca ratusan ribu orang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun