Semalam, seperti berhari-hari lainnya, hujan tak alpa tiba di kota Yogyakarta. Kali ini, turut meningkahi harmoni musik jazz di pojok Jalan Suroto, di kawasan Kotabaru. Pengunjung tak surut hadir, mempersempit halaman yang dihuni kios dan lapak jualan. Pelataran yang tergenang air, dinikmati sebagai bagian dari paket pementasan. Seorang perempuan bule tak berkeberatan menyelamatkan sepatu namun membiarkan kakinya menghuni genangan.
Jazz Mben Senen, demikian nama acara musik jazz rutin saban hari Senen yang biasanya mencabik-cabik langit malam dari pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), kali ini beraroma beda. Ia disusupi kompilasi variatif dan kemeriahan yang memenuhi satu sisi dalam kompleks kantor cabang harian Kompas.
Anak-anak muda di Jazz Mben Senen (Foto: @angtekkhun)
Usai satu-dua lagu yang disajikan sekelompok anak muda yang menaruh minat tinggi pada musik jazz, tiba serangkaian unjuk karya kelompok
Acapella Mataraman yang memecah keramaian dengan lagu-lagu khas bernuansa lokal. Tampil interaktif dengan penonton, sana-sini terlibat dalam
guyonan, kelompok nyanyi bermodalkan bebunyian dari organ tubuh semata ini mendapat sambutan antusias.
Acapella Mataraman (Foto: @angtekkhun)
Acapella Mataraman (Foto: @angtekkhun)
Berselang kemudian,
Romo Sindhunata selaku kurator, didaulat tampil ke depan untuk memotong tumpeng, lalu menyampaikan serangkaian ucapan syukur atas kiprah Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dalam rentang usia 34 tahun.
Romo Sindhunata sedang memotong tumpeng (Foto: @angtekkhun)
Romo Sindhunata menyerahkan tumpeng secara simbolik (Foto: @angtekkhun)
Senen malam yang jatuh pada tanggal 26 ini memang istimewa. Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) seddang berulang tahun, sekaligus ditandai sebagai pembukaan
Pasar Yakopan, dan malam "midodareni" HUT pemimpin puncak Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Bapak
Jakob Oetama ke-85. Maka, Anda pun boleh membayangkan betapa seru keramaian semalam. Tingkah deras hujan hanya menepikan orang-orang dari basah, tak mampu membendung sejumlah tokoh pegiat seni budaya yang menyempatkan diri untuk hadir.
Pengunjung mamadati pelataran Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) (Foto: @angtekkhun)
HUT Bendara Budaya Yogyakarta (BBY) Dalam Nuansa SyukurBendara Budaya, lembaga kebudayaan yang lahir dari rahim Kelompok Kompas Gramedia (KKG) pada 26 September 1982 ini, baru saja menerima Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Jumat, 23 September 2016. Ini melengkapi Anugerah Adhikarya Rupa 2014 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf)—sebuah penghargaan di bidang kebudayaan dan ekonomi kreatif.
Salah seorang pengisi acara (Foto: @angtekkhun)
Bentara Budaya yang bermakna "Utusan Budaya" ini memang lahir pertama kali di kota Yogyakarta, sebelum bereksistensi pula di Jakarta (26 Juni 1986), Solo (31 Oktober 2003), dan Bali (9 September 2009). Dalam artikel berjudul "Bentara, seperti Sebuah Kebetulan yang Indah" (
Kompas, 24 September 2016) CAN menuturkan penggalan kisah tentang cikal bakal lahirnya lembaga ini. "Suatu saat Pak Jakob Oetama, salah satu pendiri
Kompas, datang ke Yogyakarta, mengunjungi Toko Buku Gramedia di Jalan Sudirman. Direncanakan, toko buku akan dipindah ke gedung sebelah karena gedung lama terlalu kecil,” tulisnya.
Suasana yang cair dan interaktif (Foto: @angtekkhun)
"Romo Sindhunata, waktu itu wartawan muda harian
Kompas, bilang, 'Pak, apa arti bisnis itu untuk Kompas?' Pak Jakob balas bertanya, 'Lalu menurut kamu, untuk apa' Jawab Sindhunata, 'Misalnya untuk ruang pameran seni. Di Yogya ini banyak seni pinggiran dan seniman tradisional yang tidak mempunyai ruang untuk menunjukkan karya dan kegiatannya,'” lanjutnya.
"Tanpa banyak pertimbangan, Pak Jakob langsung bilang dan memutuskan, 'Ya sudah, kamu buat, bersama teman-teman lain,'" demikian pungkasnya. Sejak itu, dimulailah proses untuk melahirkan Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) hingga tiba saatnya diresmikan sendiri oleh Jakob Oetama. Patut dicatat bahwa Bentara Budaya hadir secara unik, karena dalam pengelolaannya lembaga ini selalu ditangani oleh wartawan Kompas dan kental dalam corak jurnalistik. Artinya, pentas atau pameran yang diadakan sebisanya ditampilkan dalam satu paket dengan pemberitaan di harian Kompas.
Romo Sindhunata sedang memberikan sambutan (Foto: @angtekkhun)
“Apa yang kamu pentaskan di panggung atau pameran yang hanya dilihat puluhan atau ratusan orang, “ pesan Pak Jakob, “harus bisa kamu olah jadi ‘pentas berita di koran’ yang dibaca ratusan ribu orang.”
Pasar Yakopan 2016 & HUT Jakob Oetama ke-85
Sejarah kemudian menggelinding, mengukirkan kisah lanjutan. Dari halaman Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), lahirlah yang bernama “Pasar Yakopan”. Pasar ini bermula dari sebuah format acara yang ditelurkan guna merayakan ulang tahun BBY ke-25. Seperti dapat Anda duga, nama "Pasar Yakopan" memang dipetik dari nama Jakob Oetama. Gelaran yang kemudian diselenggarakan secara rutin setiap tahun dan jatuh pada bulan September, menghadirkan sejenis "pasar" yang menjual berbagai barang kerajinan yang digelar dalam petak-petak “lapak-lapak” sederhana di ruang pamer dan pelataran gedung.
Pasar Yosapan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Pasar Yakopan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Di sini, Anda bagai direlokasi ke pasar klithikan mini dan oleh berbagai penjual di lapaknya masing-masing, dilemparkan ke masa lampau. Sejumlah buku dan majalah lawas, misalnya, digelar di ubin dan rak-rak seadanya. Uang koin kuno, tergeletak bersanding dalam ruang yang menyajikan radio tua, alat pemutar piringan hitam. Di sisi lain, kaset dan benda-benda antik lainnya, termasuk penjaja keris, turut menawarkan diri. Dolanan anak-anak tradisional tak mau kalah, dipajang memuncaki tiang ruangan.
Pasar Yosapan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Dolanan anak-anak jadul (Foto: @angtekkhun)
Dalam wawancara dengan
Tribunnewsdi sini, Bapak
Hermanu selaku kurator menjelaskan bahwa Pasar Yakopan memang sengaja disediakan bagi para seniman dan pengrajin untuk menampilkan karya-karya seni budaya yang sudah jarang kita temui sehari-hari. Ini menjadi jembatan masyarakat untuk mengakrabi benda-benda tradisi dari masa lalu.
Piringan hitam jadul (Foto: @angtekkhun)
Radio tempo dulu (Foto: @angtekkhun)
Aneka topeng (Foto: @angtekkhun)
Itu sebabnya di pasar yang berlangsung Senin, 26 September 2016 hingga Sabtu, 1 Oktober 2016 ini lebih kental dengan nuansa kulkural daripada perniagaan kategori UKMK sekalipun. Pasar yang tidak akan meresahkan warga dan tidak bakal menimbulkan kemacetan lalu lintas ini, layak disikapi sebagai ajang
klangenan (= sesuatu yang menjadi kesenanga, kegemaran, kesukaan) dan destinasi rekreasi alternatif yang menyejukkan.
Buku lawas (Foto: @angtekkhun)
Pasar Yakopan 2016 (Foto: @angtekkhun)
CAN dalam sumber kutipan di atas, menulis bahwa Pasar Yakopan adalah kenangan hidup yang diabadikan dan dipersembahkan untuk Bapak Jakob Oetama. Dirawat sebagai bagian dari ungkapan syukur dan momentum peringatan ulang tahun, yang kiranya akan menjadi warisan hingga tahun-tahun tak terhilangga.
Pasar Yakopan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Majalah lawas (Foto: @angtekkhun)
Oya, bagi kita warga biasa yang tidak pernah berkomunikasi atau melakukan perjumpaan dalam berbagai urusan dengan beliau, serta tidak memiliki kesempatan bertatap muka dengan Bapak Jakob Oetama dalam perayaan ulang tahunnya yang jatuh pada 27 September ini, di ajang inilah kita bebas mengambil bagian dan terlibat dalam perayaan sederhana yang murah-meriah.
Kaset lawas (Foto: @angtekkhun)
Aneka pernak-pernik (Foto: @angtekkhun)
"Selamat ulang tahun ke-85, Pak Jakob. Siang dan semalam kemaren saya telah berlama-lama menikmati pasar Bapak,” demikian saya ingin mengakhiri catatan ringan ini. “Oya, Pak, dengan menuliskan ini, beginilah kado yang ingin saya berikan. Tentu disertai ucapan, yang lazim kekinian,
wish u all d best!" []
Pasar Yakopan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Pasar Yakopan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Pasar Yakopan 2016 (Foto: @angtekkhun)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Humaniora Selengkapnya