Tidaklah cukup melakukan yang terbaik; Anda harus mengetahui apa yang Anda kerjakan, dan kemudian melakukan yang terbaik. —W Edwards Deming
Kisah sukses Toyota hari ini adalah cerita panjang tentang perjalanan sebuah perusahaan yang dibesarkan dalam rahim sebuah budaya yang telah menjadi denyut jantung dan jiwa, bahkan DNA perusahaan. Kecemerlangan operasional perusahaan induk yang lahir di negeri matahari terbit ini, telah coba diadopsi oleh Toyota Indonesia dan perlahan namun pasti, meskipun tak urung kerap tertatih, telah melewati kurun waktu 25 tahun.
Perjalanan penerapan budaya Kaizen, yaitu melakukan perubahan terus-menerus melalui upaya pengendalian mutu (QCC, Quality Control Circle) yang dirintis seperempat abad yang lalu oleh Toyota Indonesia, mendapat apresiasi melalui peluncuran buku Perubahaan Tiada Henti: Membangun Manusia Sebelum Membuat Produk terbitan Penerbit Buku Kompas di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, belum lama berselang.
Membangun Budaya Perusahaan: Tantangan dan Peluang
Dalam penggalan sambutannya, Budiman Tanuredjo mengungkap kembali buku Culture Matters: How Values Shape Human Progress karya Samuel P Huntington dan Lawrence E Harrison yang kerap dijadikan rujukan oleh Pemimpin Umum KompasJakob Oetama bahwa faktor budaya memegang peranan penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Termasuk di dalamnya adalah budaya kerja dan sejumlah nilai luhur seperti kejujuran, sikap hormat, tidak iri hati yang menyertainya.
Sebagai latar, kedua belas sifat manusia Indonesia yang diungkap Mochtar Lubis adalah: Munafik, Segan dan enggan bertanggung jawab, Berjiwa feodal, Percaya takhayul, Artistik, Watak yang lemah, Tidak hemat, Tidak suka bekerja keras, Tukang menggerutu/berani berbicara di belakang, Cepat cemburu dan dengki, Sok,danSuka plagiat. Itu sebabnya saya mengajukan tiga kesan atas Kaizen: membosankan, mencari-cari masalah, dan harus mencari solusi untuk mengatasi masalah yang dicari-cari tersebut.
Namun membangun budaya ini tentu bukan hal yang mustahil, dengan memperhatikan beberapa hal krusial yang harus dibangun sejak dini dan penuh kesabaran seperti: penyadaran secara perlahan, konsisten, keterlibatan para atasan, merujuk projek yang berdampak pada hal-hal konkret, dan secara keseluruhan mampu membangun lingkungan kerja yang lebih baik. Kisah best practice yang sempat terungkap melalui acara ini bagaimana penghematan penggunaan air yang bernilai jutaan dapat dilakukan melalui disiplin teknis flush pada toilet yang sebelumnya dilakukan berulang-ulang oleh karyawan perempuan.
Lebih dari itu semua, yang patut kita ketahui ide-ide perbaikan dalam Kaizen tidak selalu mengenai hal-hal besar yang menakjubkan. “Banyak ide kecil, ide sederhana yang digulirkan secara terus-menerus,” demikian jelas Warih Andang Tjahjono. Catatan penting darinya yang patut digarisbawahi adalah, “proses dan semangat Kaizen yang teru-menerus ini pada jangka panjang [akan] membuahkan banyak sekali perbaikan.”
Berbagai pihak menyataan dukungannya atas penerbitan buku ini. Bukan sekadar karya dokumentatif, melalui buku setebal 160 halaman ini, terbuka pembelajaran secara umum sebagai pribadi, institusi atau korporat, maupun bagi bangsa dan negara secara luas sesuai cita-cita yang termaktub dalam Nawacita yang diusung oleh Presiden Joko Widodo. Jika menyimak dengan teliti, kita akan menemukan poin-poin kesamaan pada budaya atau perilaku khas yang dikenal di Indonesia. Genchi Genbutsu misalnya, yang menjadi bagian dari pilar Toyota Production System (TPS) yang setara dengan blusukan yang kental pada diri Presiden Joko Widodo.
Joice Tauris Santi membagi buku ini dalam empat pokok bahasan. Pertama, tentang tradisi menjaga mutu. Dituturkan bagaimana Toyota membangun Toyota Production System (TPS) yang terkenal dan menjadi referensi hingga ke penjuru dunia. Diurai secara bernas konsep Jidoka dan Just-in-Time sebagai dua penyangga utama TPS. Tentu kita akan menjumpai ulasan tentang Toyota Way di sini, yang berpokok pada dua hal: Pertama, perbaikan terus-menerus yang dilengkapi perihal tantangan, Kaizen, dan apa itu Genchi Genbutsu. Kedua, menghormati sesama yang meliputi rasa hormat kepada sesama dan pentingnya kerja tim.
Tak kalah menarik untuk disimak, buku ini dilengkapi kisah-kisah kecil testimonial untuk meneguhkan perjalanan Toyota Indonesia selama 25 tahun mengarungi lautan QCC. Widodo Eko Riantomengisahkan bagaimana kondisi saat QCC mulai diterapkan. Mohamad Koeswono mengungkap pada ketika terjadi krisis minyak pada 1983 yang membuat produksi menurun, yang dilakukan untuk mengisi waktu adalah mengadakan training internal sebagai ajang saling belajar tanpa mengenal hirarki jabatan. Dan tentu kisah-kisah lainnya yang tak kalah menarik.
Sementara James Luhulima, Wartawan Senior Kompas yang juga terlibat dalam sesi diskusi di acara ini, memberikan kesan tersendiri. “Menarik karena memberikan gambaran yang lengkap tentang bagaimana Toyota bisa hadir sebesar ini di Indonesia.” Ia memberikan apresiasi tinggi karena tradisi menjaga mutu yang dikembangkan Toyota dapat hadir di seluruh dunia bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai pemimpin.
Peringatan Dini Masaaki Imai
Dari pembelajaran tentang budaya perbaikan yang dilangsungkan terus-menerus ini, kita diingatkan secara dini oleh Masaaki Imai. Secara jujur, pada bagian akhir dari bukunya, kita dapat membaca pernyataannya yang gamblang bahwa usaha penerapan QCC atau budaya Kaizen ini tidak akan membuahkan hasil secara instan. Namun, keberhasilan yang dijanjikan akan tiba pada waktunya dengan membuat “perusahaan lebih produktif, lebih dapat bersaing, dan lebih menguntungkan dalam jangka panjang” (1992, hlm 208).
Itulah Kaizen, jenis "olahraga" maraton—bukan sprint!
[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H