Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Perbaikan, Denyut Jantung Membangun Keunggulan

24 Agustus 2016   00:01 Diperbarui: 24 Agustus 2016   01:56 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidaklah cukup melakukan yang terbaik; Anda harus mengetahui apa yang Anda kerjakan, dan kemudian melakukan yang terbaik. —W Edwards Deming

Kisah sukses Toyota hari ini adalah cerita panjang tentang perjalanan sebuah perusahaan yang dibesarkan dalam rahim sebuah budaya yang telah menjadi denyut jantung dan jiwa, bahkan DNA perusahaan. Kecemerlangan operasional perusahaan induk yang lahir di negeri matahari terbit ini, telah coba diadopsi oleh Toyota Indonesia dan perlahan namun pasti, meskipun tak urung kerap tertatih, telah melewati kurun waktu 25 tahun.

Perjalanan penerapan budaya Kaizen, yaitu melakukan perubahan terus-menerus melalui upaya pengendalian mutu (QCC, Quality Control Circle) yang dirintis seperempat abad yang lalu oleh Toyota Indonesia, mendapat apresiasi melalui peluncuran buku Perubahaan Tiada Henti: Membangun Manusia Sebelum Membuat Produk terbitan Penerbit Buku Kompas di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, belum lama berselang.

Buku yang menandai 25 tahun perjalanan QCC Toyota Indonesia - Foto: @angtekkhun
Buku yang menandai 25 tahun perjalanan QCC Toyota Indonesia - Foto: @angtekkhun
Dalam acara yang menghadirkan Joice Tauris Santi (wartawan Harian Kompas) dan tim selaku penulis, Henry Tanoto Wapresdir Toyota Astra Motor, Warih Andang Tjahjono Wapresdir Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Budiman Tanuredjo Pemimpin Redaksi Kompas, jajaran direksi Toyota, perwakilan berbagai pihak, dan tentu saja Kompasianer, terasa sangat mengemuka kesadaran bahwa pengendalian mutu melalui budaya perbaikan yang konsisten dan berkelanjutan, adalah poin krusial dan menempati prioritas utama dalam organisasi atau korporasi.

Membangun Budaya Perusahaan: Tantangan dan Peluang

Dalam penggalan sambutannya, Budiman Tanuredjo mengungkap kembali buku Culture Matters: How Values Shape Human Progress karya Samuel P Huntington dan Lawrence E Harrison yang kerap dijadikan rujukan oleh Pemimpin Umum KompasJakob Oetama bahwa faktor budaya memegang peranan penting dalam kemajuan sebuah bangsa. Termasuk di dalamnya adalah budaya kerja dan sejumlah nilai luhur seperti kejujuran, sikap hormat, tidak iri hati yang menyertainya.

Pemimpin Redaksi Kompas, Budiman Tanuredjo, memberikan sambutan - Foto: @angtekkhun
Pemimpin Redaksi Kompas, Budiman Tanuredjo, memberikan sambutan - Foto: @angtekkhun
Itu sebabnya tidak berlebihan bila budaya dapat diibaratkan sebagai tanah subur bagi tumbuh-kembang pembentukan karakter dan “kepribadian” yang diinginkan. Dalam konteks Toyota, ini tak lepas rujukan pada Kaizen sebagai filosofi dasar. Dalam bukunya yang legendaris, Kaizen (Ky’zen): Kunci Sukses Jepang Dalam Persaingan, Masaaki Imai menuturkan bahwa inti Kaizen teramat sederhana, yaitu penyempurnaan. Dalam bahasa lebih panjang, Kaizen bermakna perbaikan terus-menerus yang mencakup kualitas, teknologi, proses, produktivitas, keselamatan, kepemimpinan, dan budaya perusahaan.

Buku utama rujukan Kaizen karya Masaaki Imai - Foto: @angtekkhun
Buku utama rujukan Kaizen karya Masaaki Imai - Foto: @angtekkhun
Dari sini dapat kita petik dua kata kunci utama dari konsep Kaizen, yaitu terus-menerus dan perbaikan. Itu sebabnya saat mengenal konsep Kaizen pada kali pertama, sebagai orang yang tumbuh dan besar dalam budaya Indonesia serta membaca “profil” manusia Indonesia versi Mochtar Lubis melalui bukunya Manusia Indonesia, saya tergelitik untuk mengajukan pertanyaan mengenai kendala khas budaya lokal dalam penerapan QCC di lingkungan Toyota Indonesia.

Sebagai latar, kedua belas sifat manusia Indonesia yang diungkap Mochtar Lubis adalah: Munafik, Segan dan enggan bertanggung jawab, Berjiwa feodal, Percaya takhayul, Artistik, Watak yang lemah, Tidak hemat, Tidak suka bekerja keras, Tukang menggerutu/berani berbicara di belakang, Cepat cemburu dan dengki, Sok,danSuka plagiat. Itu sebabnya saya mengajukan tiga kesan atas Kaizen: membosankan, mencari-cari masalah, dan harus mencari solusi untuk mengatasi masalah yang dicari-cari tersebut.

Diskusi yang menghadirkan penulis dan narasumber lain - Foto: @angtekkhun
Diskusi yang menghadirkan penulis dan narasumber lain - Foto: @angtekkhun
Dalam menjawab pertanyaan ini, saat di forum diskusi maupun pembicaraan pribadi seusai, Warih Andang Tjahjono tidak mengelak dari kendala-kendala yang tidak mudah dihadapi. Mengingat QCC ala Kaizen ini adalah inisiatif dan partisipatif sukarela tanpa paksaan dalam memikirkan (perbaikan) kerja atau perusahaan, saya dapat membayangkan bagaimana reaksi khas yang niscaya tak luput terdengar: “Kurang kerjaan”, “Apa untungnya ikut beginian”, “Emangnya ini perusahaan nenek moyangku”, atau “Nambah kerjaan, salary no up-up”.

Namun membangun budaya ini tentu bukan hal yang mustahil, dengan memperhatikan beberapa hal krusial yang harus dibangun sejak dini dan penuh kesabaran seperti: penyadaran secara perlahan, konsisten, keterlibatan para atasan, merujuk projek yang berdampak pada hal-hal konkret, dan secara keseluruhan mampu membangun lingkungan kerja yang lebih baik. Kisah best practice yang sempat terungkap melalui acara ini bagaimana penghematan penggunaan air yang bernilai jutaan dapat dilakukan melalui disiplin teknis flush pada toilet yang sebelumnya dilakukan berulang-ulang oleh karyawan perempuan.

Buku rujukan utama untuk memahami budaya Toyota - Foto:@angtekkhun
Buku rujukan utama untuk memahami budaya Toyota - Foto:@angtekkhun
Keteladanan adalah harga mati di sini, sebagaimana diungkap oleh I Made Dana Tangkas, Direktur PT TMMIN. “Waktu ada masalah, kita harus datang ke tempat kejadian untuk mencari fakta. Itu harus dilakukan oleh semua level, dari supervisor sampai presiden direktur. Jadi tidak ada direktur yang duduk di meja menanti laporan.”

Lebih dari itu semua, yang patut kita ketahui ide-ide perbaikan dalam Kaizen tidak selalu mengenai hal-hal besar yang menakjubkan. “Banyak ide kecil, ide sederhana yang digulirkan secara terus-menerus,” demikian jelas Warih Andang Tjahjono. Catatan penting darinya yang patut digarisbawahi adalah, “proses dan semangat Kaizen yang teru-menerus ini pada jangka panjang [akan] membuahkan banyak sekali perbaikan.”

Joice Tauris Santi dan tim penulis lainnya - Foto:@angtekkhun
Joice Tauris Santi dan tim penulis lainnya - Foto:@angtekkhun
Kontribusi Buku: Menggulirkan Pembelajaran untuk Bangsa dan Negara

Berbagai pihak menyataan dukungannya atas penerbitan buku ini. Bukan sekadar karya dokumentatif, melalui buku setebal 160 halaman ini, terbuka pembelajaran secara umum sebagai pribadi, institusi atau korporat, maupun bagi bangsa dan negara secara luas sesuai cita-cita yang termaktub dalam Nawacita yang diusung oleh Presiden Joko Widodo. Jika menyimak dengan teliti, kita akan menemukan poin-poin kesamaan pada budaya atau perilaku khas yang dikenal di Indonesia. Genchi Genbutsu misalnya, yang menjadi bagian dari pilar Toyota Production System (TPS) yang setara dengan blusukan yang kental pada diri Presiden Joko Widodo.

Joice Tauris Santi membagi buku ini dalam empat pokok bahasan. Pertama, tentang tradisi menjaga mutu. Dituturkan bagaimana Toyota membangun Toyota Production System (TPS) yang terkenal dan menjadi referensi hingga ke penjuru dunia. Diurai secara bernas konsep Jidoka dan Just-in-Time sebagai dua penyangga utama TPS. Tentu kita akan menjumpai ulasan tentang Toyota Way di sini, yang berpokok pada dua hal: Pertama, perbaikan terus-menerus yang dilengkapi perihal tantangan, Kaizen, dan apa itu Genchi Genbutsu. Kedua, menghormati sesama yang meliputi rasa hormat kepada sesama dan pentingnya kerja tim.

Menjadi buku edisi tanda tangan penulis - Foto: @angtekkhun
Menjadi buku edisi tanda tangan penulis - Foto: @angtekkhun
Bab II menceritakan tentang kiprah dan bagaimana Toyota Indonesia membangun tradisi QCC yang dijahit dengan pemaparan pada Bab III tentang bagaimana budaya tidak menjadi hambatan dan QCC dapat diterapkan untuk memperbaiki sebuah negara, serta organisasi yang lebih besar dan rumit. Dan bagian terakhir berbicara tentang “panduan” bagaimana menjadikan QCC sebagai sarana pengembangan diri.

Tak kalah menarik untuk disimak, buku ini dilengkapi kisah-kisah kecil testimonial untuk meneguhkan perjalanan Toyota Indonesia selama 25 tahun mengarungi lautan QCC. Widodo Eko Riantomengisahkan bagaimana kondisi saat QCC mulai diterapkan. Mohamad Koeswono mengungkap pada ketika terjadi krisis minyak pada 1983 yang membuat produksi menurun, yang dilakukan untuk mengisi waktu adalah mengadakan training internal sebagai ajang saling belajar tanpa mengenal hirarki jabatan. Dan tentu kisah-kisah lainnya yang tak kalah menarik.

Salah satu kisah kecil testimonial yang melengkapi buku ini - Foto: @angtekkhun
Salah satu kisah kecil testimonial yang melengkapi buku ini - Foto: @angtekkhun
Sebagai endorse, dapat dikutip kesan yang diungkap oleh Thalib Widiyanto, Ketua Umum Asosiasi Manajemen Mutu dan Produktivitas Indonesia. Baginya buku ini “mengingatkan saya pada budaya korporat di Toyota yang selalu peduli pada upaya-upaya pemecahan masalah melalui berbagai macam cara guna meningkatkan kualitas. Beberapa di antaranya banyak dikupas dalam buku ini, mulai dari menemukan, membangun, menjaga, dan meningkatkan kualitas produk dan jasa. Sehingga tumbuh awareness bahwa masalah itu akan selalu ada di sepanjang waktu dan menuntut penyelesaian yang cepat, akurat, dan tuntas.”

Sementara James Luhulima, Wartawan Senior Kompas yang juga terlibat dalam sesi diskusi di acara ini, memberikan kesan tersendiri. “Menarik karena memberikan gambaran yang lengkap tentang bagaimana Toyota bisa hadir sebesar ini di Indonesia.” Ia memberikan apresiasi tinggi karena tradisi menjaga mutu yang dikembangkan Toyota dapat hadir di seluruh dunia bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai pemimpin.

Peringatan Dini Masaaki Imai

Dari pembelajaran tentang budaya perbaikan yang dilangsungkan terus-menerus ini, kita diingatkan secara dini oleh Masaaki Imai. Secara jujur, pada bagian akhir dari bukunya, kita dapat membaca pernyataannya yang gamblang bahwa usaha penerapan QCC atau budaya Kaizen ini tidak akan membuahkan hasil secara instan. Namun, keberhasilan yang dijanjikan akan tiba pada waktunya dengan membuat “perusahaan lebih produktif, lebih dapat bersaing, dan lebih menguntungkan dalam jangka panjang” (1992, hlm 208).

Itulah Kaizen, jenis "olahraga" maraton—bukan sprint!

[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun