Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Sinar Harapan" dan Kenangan Kecil Tentangnya

4 Januari 2016   04:13 Diperbarui: 4 Januari 2016   09:29 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pustaka Sinar Harapan memberi saya pengalaman membeli buku untuk pertama kalinya. Di kota kelahiran saya tidak terdapat toko buku, namun melalui Sinar Harapan saya terhasut untuk membaca dan memiliki buku yang dipromosikannya. Maka dengan uang tabungan, saya belajar membeli buku secara jarak jauh di era toko online masih menjadi mimpi di siang bolong. Berangkat dari titik ini, pada akhirnya saya belajar mengirimkan uang melalui weselpos. Beberapa buku dongeng berwarna saya miliki dengan bangga. Namun, yang tak terlupakan adalah saat saya membeli buku pertama berjudul (cmiiw) "Vivere Pericoloso" karya Setiadi Tryman. Buku berisi kumpulan sentilan redaksi sejenis kolom Mang Usil yang kita kenal di harian Kompas hari ini, diambil dari kolom berjudul sama di SH.

Terkait dengan SH, mata dan telinga saya diperkenalkan dengan dua nama. Nama pertama membawa saya turut hanyut dalam emosi kesedihan akibat pemberitaan (cmiiw) mengenai kecelakaan terjun payung yang membawa maut yang dialami oleh Tina (Agustina?) Rorimpandey, putri H.G. Rorimpandey. Rorimpandey adalah pendiri dan Pemimpin Umum SH pada saat itu. Nama kedua adalah Tuti Gintini, wartawati SH yang namanya sering disebut-sebut dalam percakapan kakak-kakak sastrawan muda saat saya belajar menulis puisi. Tuti menjadi idola, dan tercatat pernah meraih Hadiah Adinegoro, lambang supremasi wartawan di negeri ini.

* * *

Di halaman Sinar Harapan Minggu itu, saya membaca dan belajar menulis. Saya tidak bisa mengingat dengan baik apa saja yang sudah pernah saya tulis di sana. Namun saya tak pernah melupakan puisi pertama saya yang dimuat di sana, yang membuat saya meloncat-loncat kegirangan dan diliputi perasaan berbunga-bunga selama berhari-hari. Puisi pertama itu saya salinkan di sini sebagai penutup sepotong kenangan kecil tentang harian sore Sinar Harapan, sambil mengingat kegembiraan--sekaligus kini kesedihan--yang pernah saya terima darinya. "Terima kasih, Sinar Harapan." Sinarmu mungkin telah redup, namun harapan yang telah kau tebar dan kibarkan dalam perjalanan panjang untuk Indonesia senantiasa akan abadi.

MU

Kurasa begitu banyak yang harus kita bicarakan
pagi ini. Kucingmu masuk rumahku lagi, menyantap
sarapanku. Dan saat aku membaringkan tubuh
ia merampok tidurku

Banyak sengketa yang harus kita selesaikan
Pohon-pohonku yang kau tebang subuh tadi
kini jadi mayat yang mempertanyakan kekuasaanku
Begitu juga burung-burung yang kau tembaki
dengan bedil hasil curian

Sudah saatnya kita saling membayar hutang
Menghitung cost dan benefit pagi-malam
Mumpung masih ada tanah kosong
untuk menjadi arena kita

[]

* Anda dapat membaca edisi terakhir Sinar Harapan versi epaper di sini > http://www.sinarharapan.co/epaper/2015/12/31/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun