Jika ada tempat di mana Dinosaurus tidak punah, itu ada di dunia animasi. Asteroid, sang penghancur itu, luput membuat makhluk hidup raksasa ini menjadi kenangan dan bersemayam dalam fantasi anak-anak. Pixar Animation Studios dan Walt Disney Pictures membesut premis ini menjadi tontonan (film) bertajuk "The Good Dinosaur", arahan Peter Sohn (Ratatouille, The Incredibles, Finding Nemo, Brave).
Eric Somba, Pimred SH, menuturkan kepada Okezone bahwa penyetopan operasi itu setelah penghasilan SH, baik dari oplah penjualan hingga iklan tak mampu menutupi biaya produksi dan operasional.
Diterbitkan pertama kali pada 27 April 1961 dengan moto “Memperdjoangkan kebenaran dan keadilan, kebebasan dan perdamaian berdasarkan kasih”, sejatinya SH bak kucing "bernyawa sembilan". Lewat tulisan Wahyu Dramastuti di edisi terakhir itu, kita diberi informasi mengenai perjalanan "nyawa" SH sebagai berikut:
- 2 Oktober 1965, dua hari setelah peristiwa G30S, SH dibreidel bersama media-media lainnya.
- Juli 1970, SH dilarang terbit karena menyiarkan laporan Komisi IV kepada Presiden Soeharto tentang masalah korupsi.
- 2 Januari 1973, Surat Izin Cetak (SIC) SH dicabut oleh Pangkopkamtib karena tulisan tajam mengenai korupsi di Pertamina, Bulog, Kehutanan, dan dimuatnya RAPBN 1973-1974 pada 30 Desember 1972.
- 20 Januari 1978, SH diberangus akibat menyiarkan kegiatan mahasiswa dan mengakibatkan panasnya situasi politik.
- Oktober 1986, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) SH dibatalkan oleh pemerintahan Soeharto dipicu berita utama rencana pencabutan tata niaga bidang impor yang dianggap spekulatif dan dapat mengganggu stabilitas nasional.
Sejak itu, SH tidak pernah terbit lagi. Managemen harian ini dipaksa bermetamorfosis membentuk usaha baru dengan nama PT Media Interaksi Utama (MIU), yang kemudian melahirkan harian Suara Pembaruan.
Ketika situasi politik di tanah air berubah dengan berakhirnya masa pemerintahan Soeharto (era reformasi), barulah "si kucing ini" memperoleh nyawanya kembali dan terbit resmi pada 2 Juli 2001. Motonya tidak bergeser jauh, "Memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan, kebenaran dan perdamaian berdasarkan kasih".
* * *
Dalam perjalanan saya mengenal dunia tulis-menulis dan kemudian belajar serta berkecimpung di dalamnya, ada beberapa media yang memainkan peranan penting. Sebagai pemikat awal dan kelak saya menulis di dalamnya, Sinar Harapan ada di tempat paling pertama dan utama.
Anak-anak Indonesia pada eranya dibesarkan oleh majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Bobo, tidak demikian dengan saya. Sebagai anak yang lahir dan bertumbuh di sebuah kota kecil di pulau Sulawesi, distribusi media massa teramat jarang yang memiliki tangan sepanjang itu. Jika pun ada, majalah tergolong dalam daftar barang mewah bagi kami.
Suatu waktu datanglah "pintu" yang terbuka bagi saya. Di harian Sinar Harapan Minggu, saya menjumpai satu halaman penuh tanpa iklan sebagai bacaan yang pas buat saya. Paruh atas koran itu menyajikan bacaan untuk anak-anak, sementara paruh bawah diperuntukkan bagi remaja atau kaum muda. Polanya sama, ada cerpen dan puisi serta berita kegiatan dan profil. Saya menemukan surga di halaman ini, yang kelak menjadi sasaran kirim naskah saat saya mulai belajar menulis.
Dari Sinar Harapan saya terjembatani ke bacaan lebih dewasa dan umum melalui sisipan tabloid Mutiara dan kemudian buku-buku terbitan Pustaka Sinar Harapan. Yang paling saya ingat dari tabloid Mutiara adalah kisah-kisah pendakian gunung dan perjalanan. Satu nama yang kerap terbaca oleh saya adalah Norman Edwin. Norman dikenal sebagai pecinta alam dan wartawan. Jebolan Mapala UI yang mengembuskan napas terakhir di Aconcagua ini secara rutin menuliskan petualangannya. Di tabloid ini pula saya menikmati sketsa-sketsa (cmiiw) Henk Ngantung. Pemilik nama lengkap Hendrik Hermanus Joel Ngantung adalah pelukis Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965.