Dalam momentum Hari Ibu, harian Kompas edisi 22 Desember 2015 mengangkat tajuk "Ibu, Pahlawan Para Remaja" di halaman utama. Tulisan ini berbasis survei yang dilakukan Litbang Kompas dalam dua kesempatan berbeda. Pertama, survei pada Maret 2015 dengan responden 1.501 pelajar dan kedua, survei pada Oktober 2015 dengan responden 1.640 pelajar.
Survei pertama menggunakan metode tatap muka pembagian angket kepada siswa SMA di lima kota besar Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Sementara survei kedua, menggunakan metode yang sama, melingkupi 24 SMA di 12 kota besar Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar, Denpasar, Banjarmasin, Manado, dan Pontianak.
- Ibu adalah tempat utama untuk curhat di rumah (47,1%)
- Ibu adalah sosok yang paling sering berkomunikasi (57,6%)
- Ibu adalah sosok pahlawan di mata remaja (46,2%)
Di tengah kepungan pertalian kedekatan dengan teman bergaul sebaya (Peer Group), teman seperbincangan (Chat Group), dan arus deras informasi melalui media sosial, ibu menjadi juru selamat bagi keluarga karena masih menjadi sosok signifikan sebagai tempat peraduan untuk melabuhkan curahan hati (curhat) anak-anak remajanya.
Perihal intensitas berkomunikasi, ibu kembali menjadi figur utama bagi anak-anak remaja dalam menjalin komunikasi. Faktor adanya ibu yang hadir atau mempersiapkan segala sesuatu pada pagi sebelum anak-anak berangkat sekolah, menjemputnya sepulang sekolah, atau menjadi orang pertama yang dijumpai seusai sekolah patut diduga memegang kontribusi kunci.
Alhasilnya, tidak mengejutkan bila ibu menjadi pilihan utama saat pertanyaan yang diajukan merujuk pada siapa sosok pahlawan di mata mereka dalam kehidupan seharian. Sebagai catatan, ada dua bayangan krusial gambaran pahlawan bagi mereka, yaitu orang yang melindungi saat diperlukan dan suka menolong orang lain. Bukan kondisi demikian mudah dijumpai pada seorang ibu?
Figur Ayah dan Posisinya di Mata Remaja
Yang menarik dan tak diungkap oleh DNE/ELN dalam tulisan ini karena di luar konteks perbincangan tentang sosok ibu dalam kerangka Hari Ibu, adalah posisi ayah di mata remaja. Dua penelitian yang mengungkap tiga aspek terkait, berbicara cukup nyaring dan selayaknya membangkitkan kesadaran diri bagi kaum ayah. Mari kita diskusikan satu per satu.
Beranjak ke sosok yang paling sering berkomunikasi, kembali kita dipaparkan data bahwa bahwa ayah tidak menjadi sosok penting untuk diajak berkomunikasi. Ayahnya hanya memeroleh keterlibatn sebesar 9,5% bila dibandingkan dengan sosok ibu dengan capaian 57,6%. Seperti aspek sebelum ini, figur "lainnya" jauh lebih unggul dengan angka 28,5%. Namun, aspek ini mengungkap hal yang agak menarik, yaitu adanya 4,4% anak dari 1.640 responden (72 remaja) yang berkomunikasi pada keduanya (ayah dan ibu).
Namun angka pilihan untuk ayah membaik sebagai sosok pahlawan--agak menggembirakan ala kadarnya sebagai pelipur lara. Saat para pelajar itu menjawab pertanyaan perihal sosok pahlawan di mata mereka, figur ayah meraih angka lebih baik (31,7%), berbanding sosok ibu dengan raihan 46,2%. Mungkin figur ayah menjadi pilihan utama dalam memenuhi bayangan remaja bahwa sosok pahlawan adalah seseorang yang memberantas kejahatan.
"Generasi Tanpa Ayah"
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam lintasan sepintas saya menengarai fenomena hadirnya "Generasi Tanpa Ayah". Namun hingga kini saya belum menjumpai penelitin yang memadai, yang mengungkap secara signifikan bahwa telah lahir apa yang bisa diklaim sebagai "Generasi Tanpa Ayah".
Dasar pemikirannya sederhana saja. Dalam kehidupan keseharian di perkotaan (urban), profil seorang ayah dapat disederhanakan sebagai orang yang berangkat kerja sebelum atau sesaat setelah matahari terbit dan pulang ke rumah saat matahari telah terbenam. Dalam kalimat berbeda, bisa diungkap bahwa ayah yang beruntung hanya berjumpa sebentar dengan anak-anaknya di pagi hari dan pulang saat putra-putrinya telah terlelap di peraduan.
Akhir pekan tidak bisa menggantikan segalanya. Quality time tidaklah identik dengan quantity time. Selain itu dalam praktiknya, akhir pekan bagi seorang ayah yang menempati posisi bagus di tempatnya bekerja, amat rentan diinterupsi oleh berbagai acara atas nama kepentingan kantor. Belum termasuk gangguan even komunitas, kepenatan tubuh, atau pengembangan hobi. Terkadang di akhir pekan, para pria lebih memprihatinkan nasib Chelsea dan Manchester United, atau menggunjingkan nasib Jose Morinho dan masa depan Luis van Gaal dibandingkan nilai ulangan putra-putrinya.
Ayah dan ibu seharusnya memberi keseimbangan dalam berbagi pengaruh, keteladan, atau nilai-nilai yang dibagikan dan diserap oleh anak-anak. Dari sosok ayah, anak belajar tentang kepemimpinan, ketegasan, pengambilan tanggung jawab, keberanian menghadapi tantangan, dan selaras semua ini di samping sebagai sosok pelindung dan pengayom keluarga. Apabila figur ini tidak ada dan tidak memiliki substitusi dari sosok lain dalam keluarga, misalnya ibu, om, atau kakeknya apa yang akan terjadi? Anak harus menjalani perjuangan berat untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai ini.
Doug Stringer: The Fatherless Generation
Dalam bukunya The Fatherless Generation (diterjemahkan menjadi Generasi Tanpa Ayah oleh Penerbit HPH, 1998), Doug Stringer mencatat fenomena ini setelah bertahun-tahun melayani orang-orang yang berada di "jalanan" di Amerika. Ia mencatat kelompok orang ini sebagai "pengemis, pencuri, penjual barang-barang, organ tubuh, obat-obatan terlarang dan penjual diri, fakir miskin, tuna wisma, pecandu obat-obatan dan minuman keras, penderita AIDS, pengangguran, orang-orang tanpa ketrampilan dan tak berpendidikan".
Apa yang dipaparkan oleh Doug Stringer ini mungkin akan segera kita bantah sebagai "masih jauh dari fakta yang terjadi di Indonesia". Namun yang cukup menggelisahkan saya, seringan apa pun konsekuensi dari "Generasi Tanpa Ayah" versi Indonesia, sudah patut menjadi bahan diskusi kita bersama sesegera mungkin.
Kedua, jika pada keprihatinan pertama kita mengantisipasi hadirnya generasi yang tidak memiliki figur dengan sikap dan nilai-nilai kepemimpinan, ketegasan, penuh tanggung jawab, keberanian menghadapi tantangan, pelindung dan pengayom, maka tampaknya situasi diperburuk dengan teladan "buruk" langsung dari "Generasi Ayah", yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para pria pemangku jabatan, pejabat publik, artis/selebritas, dan penyandang predikat "signifikan person" lainnya. Setidaknya itu yang kita tonton melalui siaran TV bagaimana perilaku sekelompok "ayah" yang dipanggil "Yang Mulia" di institusi bernama MKD.*
*Penulis adalah alumni Fak. Psikologi, Universitas Surabaya (Ubaya).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H