"Generasi Tanpa Ayah"
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dalam lintasan sepintas saya menengarai fenomena hadirnya "Generasi Tanpa Ayah". Namun hingga kini saya belum menjumpai penelitin yang memadai, yang mengungkap secara signifikan bahwa telah lahir apa yang bisa diklaim sebagai "Generasi Tanpa Ayah".
Dasar pemikirannya sederhana saja. Dalam kehidupan keseharian di perkotaan (urban), profil seorang ayah dapat disederhanakan sebagai orang yang berangkat kerja sebelum atau sesaat setelah matahari terbit dan pulang ke rumah saat matahari telah terbenam. Dalam kalimat berbeda, bisa diungkap bahwa ayah yang beruntung hanya berjumpa sebentar dengan anak-anaknya di pagi hari dan pulang saat putra-putrinya telah terlelap di peraduan.
Akhir pekan tidak bisa menggantikan segalanya. Quality time tidaklah identik dengan quantity time. Selain itu dalam praktiknya, akhir pekan bagi seorang ayah yang menempati posisi bagus di tempatnya bekerja, amat rentan diinterupsi oleh berbagai acara atas nama kepentingan kantor. Belum termasuk gangguan even komunitas, kepenatan tubuh, atau pengembangan hobi. Terkadang di akhir pekan, para pria lebih memprihatinkan nasib Chelsea dan Manchester United, atau menggunjingkan nasib Jose Morinho dan masa depan Luis van Gaal dibandingkan nilai ulangan putra-putrinya.
Ayah dan ibu seharusnya memberi keseimbangan dalam berbagi pengaruh, keteladan, atau nilai-nilai yang dibagikan dan diserap oleh anak-anak. Dari sosok ayah, anak belajar tentang kepemimpinan, ketegasan, pengambilan tanggung jawab, keberanian menghadapi tantangan, dan selaras semua ini di samping sebagai sosok pelindung dan pengayom keluarga. Apabila figur ini tidak ada dan tidak memiliki substitusi dari sosok lain dalam keluarga, misalnya ibu, om, atau kakeknya apa yang akan terjadi? Anak harus menjalani perjuangan berat untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai ini.
Doug Stringer: The Fatherless Generation
Dalam bukunya The Fatherless Generation (diterjemahkan menjadi Generasi Tanpa Ayah oleh Penerbit HPH, 1998), Doug Stringer mencatat fenomena ini setelah bertahun-tahun melayani orang-orang yang berada di "jalanan" di Amerika. Ia mencatat kelompok orang ini sebagai "pengemis, pencuri, penjual barang-barang, organ tubuh, obat-obatan terlarang dan penjual diri, fakir miskin, tuna wisma, pecandu obat-obatan dan minuman keras, penderita AIDS, pengangguran, orang-orang tanpa ketrampilan dan tak berpendidikan".
Apa yang dipaparkan oleh Doug Stringer ini mungkin akan segera kita bantah sebagai "masih jauh dari fakta yang terjadi di Indonesia". Namun yang cukup menggelisahkan saya, seringan apa pun konsekuensi dari "Generasi Tanpa Ayah" versi Indonesia, sudah patut menjadi bahan diskusi kita bersama sesegera mungkin.
Kedua, jika pada keprihatinan pertama kita mengantisipasi hadirnya generasi yang tidak memiliki figur dengan sikap dan nilai-nilai kepemimpinan, ketegasan, penuh tanggung jawab, keberanian menghadapi tantangan, pelindung dan pengayom, maka tampaknya situasi diperburuk dengan teladan "buruk" langsung dari "Generasi Ayah", yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para pria pemangku jabatan, pejabat publik, artis/selebritas, dan penyandang predikat "signifikan person" lainnya. Setidaknya itu yang kita tonton melalui siaran TV bagaimana perilaku sekelompok "ayah" yang dipanggil "Yang Mulia" di institusi bernama MKD.*
*Penulis adalah alumni Fak. Psikologi, Universitas Surabaya (Ubaya).