Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menggagas Kiprah Komunitas Kompasianer Yogyakarta

19 Oktober 2015   04:17 Diperbarui: 19 Oktober 2015   06:59 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada kota yang denyut jantungnya berdetak kencang dipompa oleh energi warga nan tak kunjung padam, itulah Yogyakarta. Orang-orang yang tidak pernah jatuh cinta pada kota ini tidak akan memiliki jejak langkah menuju rahasia ini, dan alhasil tidak akan pernah mengenali sebab-musababnya. Hari-hari ini ada begitu banyak kritik dan otokritik untuk kota ini yang abai merawat dirinya saat telah memasuki usia ke-259 pada 7 Oktober lalu.

“Yogya itu....” Jika Anda mencari jawaban untuk pertanyaan ini, tak akan pernah seluruh buku tulis dikumpulkan mampu menampungnya. Yogya memiliki seribu wajah romantisisme yang tak akan pernah dangkal untuk ditebus. Yogya memiliki seribu wajah kisah yang tak akan pernah kering untuk dituturkan. Dan yang sungguh “berbahaya”, Yogya selalu menyisipkan rindu dan memanggil “kekasih”nya untuk pulang. Dan pulang ke Yogyakarta, kata Katon Bagaskara, selalu mencuatkan “setangkup haru dalam rindu”.

Ketika seorang asing berbekal kemiripan nama yang diserap indra pendengarannya lalu bertanya-tanya apa perbedaan Jakarta dan Yogyakarta, saya menjawab mantap dalam keluguan: Jakarta dan Yogyakarta itu ibarat Tokyo dan Kyoto. Lugu karena hingga kini saya belum pernah ke Tokyo, pun Kyoto. Citra yang masuk dalam diri saya sederhana: Tokyo adalah kota megapolitan dan Kyoto adalah kota “heritage”. Kesahihan jawaban ini akan bisa dengan mudah saya verifikasi apabila ada yang bersedia mengajak saya ke kedua kota di Jepang itu.

Yogyakarta dan Komunitas

Dalam kesederhanaan berpikir, saya sangat menduga kota Yogyakarta lahir dari rahim komunitas. Saat menulis posting Manusia di Antara Kota dan Ruang Publik (http://bit.ly/1MxsYfM) saya berkesempatan mengutarakan contoh sebuah komunitas yang mencatatkan namanya dalam lembar sejarah sastra-budaya negeri ini: Persada Studi Klub (PSK). Komunitas ini lahir pada kisaran waktu 1968/69 dan merebak hingga puncak kejayaannya di ruang publik bernama trotoar Jalan Malioboro. Dengan motor penggerak Umbu Landu Paranggi, seseorang penuh pengabdian yang kemudian didaulat sebagai Presiden Malioboro, lahirlah nama-nama yang tercatat dengan tinta tebal seperti Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Mustofa W Hasyim, Linus Suryadi AG, dan serenceng nama lain dari antara 1500-an orang yang bergiat di sini.

Jika kita melompat jauh ke depan setelah era PSK, kota ini juga mencatat lekat eksisnya komunitas blogger bernama CahAndong (http://cahandong.org/). CA menjadi rumah bagi sekumpulan blogger yang tinggal, berdomisili, pernah tinggal di Yogyakarta, atau yang memiliki hubungan dan kenangan tersendiri dengan Yogyakarta. Komunitas ini melejitkan namanya hingga ke panggung nasional. Banyak blogger kawakan Indonesia lahir dari “kawah candradimuka” ini. Salah satu aktivitas legendaris CA adalah apa yang dinamai JUMINTEN (JUmat MIdNite TENguk-tenguk), “acara kumpul-kumpul tiap JUMAT MALAM jam 21.00 till drop di Seputaran Titik Nol Kilometer Jogja”. Jika Anda belum pernah mendengar komunitas ini, silakan mengunduh gambaran akan kiprah komunitas ini di blog mereka di alamat di atas.

Bagaimana situasi Yogyakarta hari ini? Menakjubkan! Tak terbilang banyaknya komunitas merebak bak jamur di musim “hujan sepanjang tahun”. Di kota ini, apabila 2 atau 3 orang berkumpul gayeng (baca: seru), maka niscaya akan lahir gerakan atau komunitas. “Celaka”nya, di kota ini orang-orang suka ngumpul. Di pojok-pojok kota hingga pelosok, angkringan tumbuh dan dikelilingi orang-orang. Dalam hitungan hari ini, saya menduga ada lebih dari 150 komunitas yang menggeliat di sini. Mulai dari penyuka sepeda onthel, jogging malam hari, sampai penanam sayur organik; mulai dari kelompok belajar untuk membuat sketsa hingga berbagai aktivitas sosial yang berbasis relawan.

Jika Anda punya waktu luang melimpah, ada belasan sampai bilangan puluh mata acara dalam seminggu yang bisa Anda ikuti. Sajian aneka seni-sastra-budaya hingga yang bersifat keilmuan bisa Anda nikmati. Seminar, lokakarya, diskusi mulai dari yang berbayar hingga gratisan, ada di sini. Otak dan hati Anda dibuat terus berdenyut meskipun dompet tak selalu perlu Anda buka. Komunitas Akademi Berbagi (Akber) Yogyakarta misalnya, dalam setahun bisa menyelenggarakan lebih dari 52 kelas berbagi ilmu yang tak berbayar. Komunitas yang mempertemukan relawan pengajar, relawan tempat, relawan pengelola, dan “relawan” murid ini sangat aktif dalam membagikan ilmu apa pun. Mulai dari wawasan, keilmuan, hingga urusan kuliner.

Rumah budaya Tembi (http://tembi.net/) adalah kisah lain. Bertempat di selatan kota Yogyakarta, pentas sastra dan aneka macam seni lainnya, rutin dipanggungkan. Sastra Bulan Purnama misalnya, adalah acara rutin bulanan yang dihelat di pendopo atau amphyteater dengan latar persawahan dalam terang percik sinar rembulan.

Sementara khusus urusan rintisan digital (startup), ada “lembah silicon” bernama Jogja Digital Valley (JDV) (http://jogjadigitalvalley.com/) beralamat di Jalan Sagan. Co-Working Space dan inkubator persembahan Telkom ini terbuka secara umum dan tanpa berbayar. Berbagai acara terkait domain teknologi masa depan kerap diselenggarakan di sini. Selain dapat menikmati acara yang sebagian besar gratis, audiens even pun selalu dimanjakan dengan kudapan dan makan siang/malam. Bukankah ini yang paling menari bagi mahasiswa?

Community Space juga hadir di selatan kota, tepatnya di sebelah kantor pos besar Yogyakarta. Loop Station adalah persembahan dari Telkomsel. Dengan hall yang mampu menampung 100 orang dan tiga ruang meeting untuk belasan orang di lantai dua, tempat ini dirancang cozy dan nyaman untuk ngumpul para komunitas. Masih di sisi kantor pos ini, ada perpustaan Bank Indonesia yang dihadirkan untuk menjadi ruang belajar umum. Dan ada belasan, bahkan puluhan lagi kantong-kantong beraktivitas di Yogyakarta yang sangat memanjakan warga untuk berkecimpung dalam interaksi kreatif.

Tak tertinggal dalam denyut ini, kita perlu mengapresiasi harian Kompas cabang Yogyakarta. Selain berbagai kegiatan bulanan yang masuk dalam agenda Bentara Budaya Yogyakarta, secara berkala Kompas mengadakan acara-acara buat warga secara luas. Pelatihan jurnalistik dan menulis secara umum, sering dihadirkan di sini. Dari akhir 2014 hingga bulan-bulan awal 2015 (selama lima kali pada setiap bulan) misalnya, ada pelatihan menulis terkait isu lingkungan hidup bagi blogger dan fotografer yang pada akhir setiap topik diakhiri dengan lomba. Yang menarik dicatat, pada banyak acara Kompas Yogyakarta kerap kali bermitra dengan komunitas-komunitas yang terkait. Tak lupa sebagai catatan pinggir, perlu diingat bahwa di Jalan Suroto, juga beraktivitas dua radio payung dalam Kelompok Kompas Gradiemdia (KG), yaitu Radio Eltira dan Radio Sonora.

Ringkas kata, apabila Anda mengenal berbagai predikat yang disandangkan kepada Yogyakarta, misalnya Kota Pelajar atau Kota Budaya, maka Anda perlu tahu dan membiasakan telinga untuk mendengar bahwa Yogyakarta juga menyandang predikat sebagai Kota Komunitas. Melalui gambaran ini, akan terdengar aneh apabila tidak di kota ini tidak eksis komunitas blogger Kompasiana (Kompasianer).

Sharing. Connecting. Contributing

Sharing dan Connecting adalah official tagline Kompasiana untuk merangkum harapan dan pencapaian melalui semua aktivitas online dan offline. Namun dalam tataran berkomunitas, mengingat ia tidak lahir di ruang hampa, sangat patut untuk menyandangkan aspek ketiga, yaitu Contributing. Selain membangun keterhubungan (Connecting) yang melahirkan kesempatan untuk berbagi (Sharing), komunitas Kompasianer Yogyakarta (KKY) dalam kiprahnya selayaknya mendatangkan dan menyumbangkan manfaat nyata (Contributing) bagi pribadi yang terlibat di dalamnya.

Selain berasyik masyuk secara internal, KKY harus menghadirkan diri sebagai satu persona di antara komunitas-komunitas lainnya di Yogyakarta. Dalam tataran ini Sharing dan Connecting harus dimaknai dalam ranah luas sebagai berbagi dan berelasi dengan komunitas dan institusi/pihak luar dan memberi manfaat bagi mereka. Dalam bahasa lugas, KKY tidak menjadi persona asing apalagi menjadi “benalu” bagi kota sebagai basis eksistensinya.

Kira-kira demikianlah pesan visi dan misi yang perlu diemban KKY.

Titik Mulai dan Langkah Lanjut

Langkah-langkah praktis apa perlu dilakukan? Pertama-tama, tentu saja membangun organisasi yang liat untuk menggeliat. Kedua, mengejawantahkan visi-misi dalam bahasa operasional dan program-program. Ketiga, melakukan sosialisasi melalui pengumuman resmi di Kompasiana. Keempat, melakukan konsolidasi keanggotaan melalui pendataan dan pemetaan karakteristik anggota.

Selanjutnya adalah langkah-langkah berkaitan dengan aktivitas atau pihak-pihak eksternal. Pertama-tama, tentu saja merumuskan keberadaan diri yang terformulasi dengan menarik. Kedua, memperkenalkan diri dan menyatakan kesediaan untuk bermitra kepada pihak-pihak lain dimulai dari keluarga besar dalam payung KKG, yaitu:

  • Kompas cabang Yogyakarta
  • Bentara Budaya Yogakarta
  • Radio Eltira & Radio Sonora

Ketiga, komunitas-komunitas lain yang selaras. Keempat, pihak pemangku jabatan kota, setidaknya memperkenalkan diri kepada Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan. Kelima, mensosialisasikan kehadiran kepada media-media lokal (maisntream, new media, radio, bahkan TV lokal). Keenam, menjalin relasi dengan calon mitra potensial.

Ragam Aktivitas

Dalam kilasan pandang saya, semua format/produk aktivitas Kompasiana bisa dipalikasikan di Yogyakarta. #Visit, #Nangkring, #Coverage, #Blogtrip, dan #Blogshop berpeluang untuk akktif dan eksis di Yogyakarta (detail mengenai mitra kerja sama bisa didiskusikan dalam forum yang tepat). Demikian pula aktivitas-aktivitas silang  dengan komunitas internal Kompasiana lainnya. Terkait film, di sini ada Cinemaxx dan CGV Blitz selain kelompok 21. Terkait kuliner, Yogyakarta melimpah dengan bisnis/usaha ini. Terkait penulisan fiksi, tersedia beberapa penerbit yang siap mendukung. Dan sebagainya.

Sebagai catatan khusus, saya ingin mengangkat topik Blogshop sebagai ujung tombak penetrasi untuk membangun awareness dan engagement terhadap Kompasiana. Dalam beberapa kesempatan, beberapa komunitas pernah dan akan mengajak kerja sama pribadi untuk berbicara tentang blogging. Pada setiap kesempatan tersebut, saya memanfaatkannya untuk mempromosikan Kompasiana sebagai sarana yang sepatutnya mereka manfaatkan secara optimal. Apabila KKY telah terbentuk, format Blogshop ini bisa didesain sebagai program pengembangan masyarakat umum (sekolah, kampus, komunitas) yang side effect-nya akan meningkatkan keanggotaan dan memperkaya content Kompasiana.

Catatan Akhir

Pemaparan di atas adalah hal yang real dan realistis. Yogyakarta memiliki potensi besar dari sisi Kompasianer, untuk menyebut dengan rendah hati bahwa di sini banyak Kompasianer dan blogger-blogger hebat. Ekosistem Yogyakarta sangat kondusif dalam gerak bersama dalam gerakan pengembangan masyarakat. Potensi sumber daya manusia sangat potensial untuk digugah dan bertumbuh dalam dunia literasi. Mitra strategis terbuka luas untuk didekati dan terlibat dalam gerak langkah Kompasiana.

Lalu, apa lagi yang kita nantikan? Menunggu Godot? Jangan dong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun