Jika ada kota yang denyut jantungnya berdetak kencang dipompa oleh energi warga nan tak kunjung padam, itulah Yogyakarta. Orang-orang yang tidak pernah jatuh cinta pada kota ini tidak akan memiliki jejak langkah menuju rahasia ini, dan alhasil tidak akan pernah mengenali sebab-musababnya. Hari-hari ini ada begitu banyak kritik dan otokritik untuk kota ini yang abai merawat dirinya saat telah memasuki usia ke-259 pada 7 Oktober lalu.
Ketika seorang asing berbekal kemiripan nama yang diserap indra pendengarannya lalu bertanya-tanya apa perbedaan Jakarta dan Yogyakarta, saya menjawab mantap dalam keluguan: Jakarta dan Yogyakarta itu ibarat Tokyo dan Kyoto. Lugu karena hingga kini saya belum pernah ke Tokyo, pun Kyoto. Citra yang masuk dalam diri saya sederhana: Tokyo adalah kota megapolitan dan Kyoto adalah kota “heritage”. Kesahihan jawaban ini akan bisa dengan mudah saya verifikasi apabila ada yang bersedia mengajak saya ke kedua kota di Jepang itu.
Yogyakarta dan Komunitas
Dalam kesederhanaan berpikir, saya sangat menduga kota Yogyakarta lahir dari rahim komunitas. Saat menulis posting Manusia di Antara Kota dan Ruang Publik (http://bit.ly/1MxsYfM) saya berkesempatan mengutarakan contoh sebuah komunitas yang mencatatkan namanya dalam lembar sejarah sastra-budaya negeri ini: Persada Studi Klub (PSK). Komunitas ini lahir pada kisaran waktu 1968/69 dan merebak hingga puncak kejayaannya di ruang publik bernama trotoar Jalan Malioboro. Dengan motor penggerak Umbu Landu Paranggi, seseorang penuh pengabdian yang kemudian didaulat sebagai Presiden Malioboro, lahirlah nama-nama yang tercatat dengan tinta tebal seperti Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Mustofa W Hasyim, Linus Suryadi AG, dan serenceng nama lain dari antara 1500-an orang yang bergiat di sini.
Jika kita melompat jauh ke depan setelah era PSK, kota ini juga mencatat lekat eksisnya komunitas blogger bernama CahAndong (http://cahandong.org/). CA menjadi rumah bagi sekumpulan blogger yang tinggal, berdomisili, pernah tinggal di Yogyakarta, atau yang memiliki hubungan dan kenangan tersendiri dengan Yogyakarta. Komunitas ini melejitkan namanya hingga ke panggung nasional. Banyak blogger kawakan Indonesia lahir dari “kawah candradimuka” ini. Salah satu aktivitas legendaris CA adalah apa yang dinamai JUMINTEN (JUmat MIdNite TENguk-tenguk), “acara kumpul-kumpul tiap JUMAT MALAM jam 21.00 till drop di Seputaran Titik Nol Kilometer Jogja”. Jika Anda belum pernah mendengar komunitas ini, silakan mengunduh gambaran akan kiprah komunitas ini di blog mereka di alamat di atas.
Bagaimana situasi Yogyakarta hari ini? Menakjubkan! Tak terbilang banyaknya komunitas merebak bak jamur di musim “hujan sepanjang tahun”. Di kota ini, apabila 2 atau 3 orang berkumpul gayeng (baca: seru), maka niscaya akan lahir gerakan atau komunitas. “Celaka”nya, di kota ini orang-orang suka ngumpul. Di pojok-pojok kota hingga pelosok, angkringan tumbuh dan dikelilingi orang-orang. Dalam hitungan hari ini, saya menduga ada lebih dari 150 komunitas yang menggeliat di sini. Mulai dari penyuka sepeda onthel, jogging malam hari, sampai penanam sayur organik; mulai dari kelompok belajar untuk membuat sketsa hingga berbagai aktivitas sosial yang berbasis relawan.
Ringkas kata, apabila Anda mengenal berbagai predikat yang disandangkan kepada Yogyakarta, misalnya Kota Pelajar atau Kota Budaya, maka Anda perlu tahu dan membiasakan telinga untuk mendengar bahwa Yogyakarta juga menyandang predikat sebagai Kota Komunitas. Melalui gambaran ini, akan terdengar aneh apabila tidak di kota ini tidak eksis komunitas blogger Kompasiana (Kompasianer).
Sharing. Connecting. Contributing
Sharing dan Connecting adalah official tagline Kompasiana untuk merangkum harapan dan pencapaian melalui semua aktivitas online dan offline. Namun dalam tataran berkomunitas, mengingat ia tidak lahir di ruang hampa, sangat patut untuk menyandangkan aspek ketiga, yaitu Contributing. Selain membangun keterhubungan (Connecting) yang melahirkan kesempatan untuk berbagi (Sharing), komunitas Kompasianer Yogyakarta (KKY) dalam kiprahnya selayaknya mendatangkan dan menyumbangkan manfaat nyata (Contributing) bagi pribadi yang terlibat di dalamnya.
Selain berasyik masyuk secara internal, KKY harus menghadirkan diri sebagai satu persona di antara komunitas-komunitas lainnya di Yogyakarta. Dalam tataran ini Sharing dan Connecting harus dimaknai dalam ranah luas sebagai berbagi dan berelasi dengan komunitas dan institusi/pihak luar dan memberi manfaat bagi mereka. Dalam bahasa lugas, KKY tidak menjadi persona asing apalagi menjadi “benalu” bagi kota sebagai basis eksistensinya.
Kira-kira demikianlah pesan visi dan misi yang perlu diemban KKY.
Titik Mulai dan Langkah Lanjut
Langkah-langkah praktis apa perlu dilakukan? Pertama-tama, tentu saja membangun organisasi yang liat untuk menggeliat. Kedua, mengejawantahkan visi-misi dalam bahasa operasional dan program-program. Ketiga, melakukan sosialisasi melalui pengumuman resmi di Kompasiana. Keempat, melakukan konsolidasi keanggotaan melalui pendataan dan pemetaan karakteristik anggota.
Selanjutnya adalah langkah-langkah berkaitan dengan aktivitas atau pihak-pihak eksternal. Pertama-tama, tentu saja merumuskan keberadaan diri yang terformulasi dengan menarik. Kedua, memperkenalkan diri dan menyatakan kesediaan untuk bermitra kepada pihak-pihak lain dimulai dari keluarga besar dalam payung KKG, yaitu:
- Kompas cabang Yogyakarta
- Bentara Budaya Yogakarta
- Radio Eltira & Radio Sonora
Ragam Aktivitas
Dalam kilasan pandang saya, semua format/produk aktivitas Kompasiana bisa dipalikasikan di Yogyakarta. #Visit, #Nangkring, #Coverage, #Blogtrip, dan #Blogshop berpeluang untuk akktif dan eksis di Yogyakarta (detail mengenai mitra kerja sama bisa didiskusikan dalam forum yang tepat). Demikian pula aktivitas-aktivitas silang dengan komunitas internal Kompasiana lainnya. Terkait film, di sini ada Cinemaxx dan CGV Blitz selain kelompok 21. Terkait kuliner, Yogyakarta melimpah dengan bisnis/usaha ini. Terkait penulisan fiksi, tersedia beberapa penerbit yang siap mendukung. Dan sebagainya.
Catatan Akhir
Pemaparan di atas adalah hal yang real dan realistis. Yogyakarta memiliki potensi besar dari sisi Kompasianer, untuk menyebut dengan rendah hati bahwa di sini banyak Kompasianer dan blogger-blogger hebat. Ekosistem Yogyakarta sangat kondusif dalam gerak bersama dalam gerakan pengembangan masyarakat. Potensi sumber daya manusia sangat potensial untuk digugah dan bertumbuh dalam dunia literasi. Mitra strategis terbuka luas untuk didekati dan terlibat dalam gerak langkah Kompasiana.
Lalu, apa lagi yang kita nantikan? Menunggu Godot? Jangan dong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H