[caption caption="Sarana di ruang publik: Untuk manusia tapi manusiawikah?"]
Bagi Bakti Setiawan, bias pembangunan ini tidak seharusnya ada. Bahkan secara pragmatis ia menegaskan bahwa pembangunan tidak harus berupa pengadaan barang atau fisik bangunan. Pembangunan bisa dilaksanakan dalam kerangka perlindungan fasilitas yang sudah ada dan menjamin terpenuhinya kebutuhan warga.
Manusia Sebagai Subjek dalam Kodrat Ilahi dan Psikologis
Secara kodrati, manusia adalah pusat kreasi yang tak terbantahkan. Narasi ini menuturkan bahwa pada mulanya, sebelum menghadirkan manusia, Sang Khalik terlebih dahulu membangun setting (by design, bukan by accident). Setting itu adalah ruang publik, dan ruang publik ini memiliki tujuan: menyambut kehadiran manusia. Kita membaca dengan jelas kisah ini, dari ketiadaan menjadi ada, Allah memulainya dengan membuat alam semesta, dan bumi ada di sana. Menyusul kemudian adalah infrastruktur dasar, mulai dari electricity, "instalasi" air, daratan, "sistem ketahanan pangan", dan ekosistem selengkapnya. Dan pada puncak kreasi, Allah menciptakan manusia sebagai mahkota atas seluruh rangkaian karya cipta-Nya. Susunan atau urutan (orde) ini dengan bening menempatkan manusia sebagai subjek, titik orientasi, atau esensi dari proses pembangunan setting—pembangunan, tata kota, tata ruang terbuka publik.
Secara fisik, manusia adalah makhluk yang bertumbuh melalui proses. Semenjak masa prenatal di mana terjadi pembentukan struktur tubuh, pertumbuhan kepala dan bagian tubuh penting lainnya, hingga mampu membuat gerakan di dalam rahim. Setelah kelahiran, ada rangkaian dari bayi hingga anak-anak, praremaja hingga dewasa, dan masa lansia. Dalam perkembangan fisik ini, manusia membutuhkan ruang untuk berlatih dan berkembang dengan baik.
[caption caption="Sarana parkir sepeda di dekat halte TransJogja di Kotagede"]
Secara psikologis, manusia adalah makhluk sosial, karena itu ruang publik adalah bagian dari kebutuhan manusia. Karen Tambayong saat menghadiri sebuah konferensi (2013) mengatakan, "Kota Melbourne betul-betul merupakan kota yang memenuhi syarat sebagai liveable city karena udaranya bersih, tamannya banyak, dan manusia itu merasa menjadi manusia karena ada tempat pedestrian-nya, ada bicycle track-nya ... dimanjakan sekali bisa melihat pantai, bisa melihat botanical garden (kebun raya)."
Prof Mettina Veenstra dari Saxion University menuturkan bahwa ruang publik yang unik dan tertata dapat menciptakan lingkungan yang mendukung masyarakatnya menjadi kreatif. Energi positif yang lahir dari ruang publik pada gilirannya akan meningkatkan semangat masyarakat untuk berinovasi sehingga produktivitasnya ikut meningkat.
Psikolog Universitas Indonesia Niniek L Karim mengungkapkan bahwa setiap kota memiliki kecenderungan kesesakan dan kepadatan. Untuk menghindari stres, warga kota dituntut beradaptasi dengan mengabaikan kebutuhan orang lain. "Apa pun kondisinya, setiap orang bergerak mencari kebahagiaan. Pengalaman kebahagiaan terbesar, yaitu bersantai dan interaksi sosial. Sementara pengalaman paling tidak menyenangkan adalah aktivitas pergi-pulang kantor."
[caption caption="Area menyeberang untuk peseda di Kotabaru, Yogyakarta"]
Ninik memberi penegasan bahwa untuk mewujudkan kota yang bahagia, pelibatan warga dibutuhkan untuk mengintervensi kebijakan pembangunan. Ia lalu mengisahkan bahwa pada 1980-an, kota Chicago pernah dianggap sebagai kota yang tidak membahagiakan. Setelah warga dilibatkan dalam pembangunan melalui gerakan Chicago Glue, kota itu berkembang menjadi kota yang membahagiakan. "Warga perlu ditanya apa kebutuhan hidupnya? Apa yang membuatnya bahagia? Pembangunan dilaksanakan untuk menjawab itu," ujarnya.