Jika di tambah AC di dekat tiga petugas loket, maka total ada 4 buah AC yang beroperasi. Tapi mereka tak berdaya, sehingga pintu harus dibuka agar angin ikut bekerja sama mengantarkan adem. Saya mendekat ke dua AC terdekat, dan apa yang saya peroleh? Hanya terasa angin yang agak sejuk menerpa kulit wajah saya.
Dulu di sini lebih pengap, tapi mungkin saja disebabkan oleh jubelan orang-orang yang tumplek-blek di ruangan ini. Kini saya bisa menyebutnya "lengang". Tak ada lagi papan petunjuk proses atau alur untuk pembelian tiket, itu sudah digantikan oleh petunjuk dalam ukuran lebih kecil dan dipasang di dekat TV:
Di bawahnya, pada sebuah meja, diletakkan mesin pencetak nomor antrean. Mesin yang tampaknya sama dengan mesin yang pernah saya lihat dahulu. Namun kini ia seorang diri. Tidak ada lagi satpam menjaganya. Orang-orang swalayan memencetnya. Dan di sampingnya diletakkan formulir-formulir pemesanan untuk diisi oleh calon penumpang.
Di depannya, konter sayap kiri, tak ada petugas yang melayani calon penumpang. Dulu di sini jadi loket 4, 5, dan 6. Kini, hanya ada sepi:
Yup, tidak mengherankan juga. Meskipun ruangan reservasi ini tidak berjubel seperti dulu, antrean tetap panjang karena jumlah loket berkurang separuh. Tampaknya memang secara perlahan namun pasti layanan penjualan tiket langsung ini tidak akan menjadi prioritas lagi. Ini kesimpulan saya pribadi, sebab saat mengedarkan pandangan ke sekeliling saya menjumpai 3 banner ajakan untuk membeli tiket secara online dengan iming-iming tidak akan lelah mengantre: