Berkecimpung di sebuah komunitas keluarga kurang beruntung atau keluarga miskin, merupakan suatu pengalaman yang tak terlupakan. Kita tak hanya dituntut mampu membaur, bersosialisasi diri dengan segala keterbatasan mereka, mulai dari tingkat pendidikan, ekonomi, pola hidup dan sebagainya, namun kita juga diharapkan mampu menjadi motivator, membawa dan merubah mereka  ke arah yang lebih baik.
Secara umum, keluarga miskin rata-rata berpendidikan rendah. Bahkan ada diantara mereka yang kurang beruntung, tak pernah mengenyam bangku sekolah alias buta aksara. Begitu juga dengan anggota keluarganya, mengenyam sekolah pun hanya sebatas sekolah dasar bahkan tak sampai lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA).Â
Jelas, dengan pendidikan yang rendah, otomatis tak mampu bersaing dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Bayangkan, dewasa ini, untuk sekedar menjadi buruh pabrik, penjaga toko, swalayan saja minimal dibutuhkan ijazah lulusan SMA sederajat. Apa ijazah itu tak dimilikinya, walhasil ia harus banting setir, kerja keras, serabutan atau memilih berwirausaha. Itu pun dibutuhkan niat dan tekad yang kuat.
Ciri berikutnya dari keluarga miskin, rata-rata kurang memperhatikan kesehatan. Baik kesehatan diri, keluarga maupun lingkungan. Hal ini sangat dimaklumi, bisa jadi disebabkan faktor pendidikan yang rendah, sehingga tingkat pemahaman serta kesadaran dalam kesehatan sangat minim. Terlihat dari kondisi rumah yang kumuh, tanpa jamban, berantakan dan tidak rapih. Terkadang acuh-tak acuh dengan kondisi kesehatan anggota keluarga, pasrah begitu saja.Â
Ciri umum berikutnya, yakni perihal ekonomi. Keluarga miskin biasanya berpenghasilan kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Sehingga terkadang harus gali lobang tutup lobang guna memenuhi kebutuhannya. Ironisnya, mereka justru banyak terjerat hutang dengan bank titil, bank utuk atau bank perkreditan dengan bunga hutang yang tinggi dan menjerat diri.Â
Pada kondisi yang demikian inilah menjadikan keluarga miskin semakin tak berdaya. Sudah miskin pendidikan, miskin kesadaran akan pentingnya kesehatan ditambah lagi memang miskin secara ekonomi. Tambah lagi, miskin rohani. Hal ini menjadikan pribadi mereka pesimis, keras, emosional, acuh tak acuh, tidak kontrol dan konsumtif seta kontra produktif.Â
Dengan mengetahui kondisi dan pola keluarga miskin inilah sekiranya menjadi bahan dasar analisa kita, terutama yang bekerja, berkecimpung dan bergelut dengan mereka, para keluarga miskin. Kita harus sadar diri bahwa kita dihadapkan pada dunia lain yang kontradiktif dengan kita. Maka sejatinya kita harus mampu melepaskan baju akademis, strata dan bahasa kita serta menyesuaikan diri dengan mereka. Namun kita tetap harus profesional, bahwa kita sejatinya adalah sang motivator.
Sebagai motifator keluarga miskin, gol kita yakni membawa perubahan bagi mereka (baca: agen of change). Tentunya dibutuhkan waktu dan proses yang tidak sebentar. Serta dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam menghadapi kompleksitas persoalan yang menyelimuti mereka.Â
Sedikitnya ada tiga kunci dasar yang harus dilakukan oleh sang motivator atau pendamping bagi keluarga miskin. Pertama, yakni intensitas pertemuan. Dengan intensitas pertemuan yang rutin dilakukan, secara otomatis kita mampu menggali banyak pengetahuan tentang siapa dan bagaimana sebernanya mereka. Intensitas pertemuan akan menambah ikatan keakraban bahkan bisa melebihi saudara.Â