Untuk mahir menulis dibutuhkan proses yang panjang. Menulis bukanlah sebuah proses instan yang cepat saji, cepat jadi. Proses inilah yang menjadikan seorang penulis makan garam akan dunia kepenulisan, baik mengenai faktor internal maupun faktor-faktor eksternal berkaitan dengan tulisan-tulisannya. Semua itu akan terungkap melalui proses yang panjang. Butuh kesabaran dan keuletan.Â
Seseorang yang terus berproses dalam menulis menjadikannya banyak ilmu dan pengalaman. Tulisan-tulisannya pun begitu terasa dan berbobot. Meski menulis tentang apa saja, biasanya memiliki karakter tersendiri pada setiap tulisannya. Bisa dari pemilihan judul, diksi yang digunakan atau dalam merangkai kalimat sehingga tersusun menjadi sebuah paragraf yang enak dibaca dan berkelanjutan.Â
Saya sendiri, termasuk orang yang terus berproses menulis. Mulai dari nol, sampai sekarang terus menulis, termasuk di Kompasiana. Jatuh bangun, putus asa, pastinya hal itu pernah saya alami. Rasa senang, bahagia, juga sering saya rasakan dengan tulisan-tulisan saya.Â
Proses awal saya menulis, sesungguhnya lebih didorong waktu itu karena jatuh cinta. Untuk mengungkapkan perasaan cinta, rindu, saat itu saya ungkapkan melalui untaian kata-kata, rangkaian kalimat melalui surat cinta. Maklum waktu itu belum ada hp. Alamat komunikasi yang trend saat itu baru telpon rumah, wartel. Sedang saya tak memilikinya.Â
Asrama suci juga menjadi "penghalang" untuk kami bertemu. Satu-satunya jalan untuk menembus itu yakni dengan surat cinta. Itu pun saya lakukan secara sembunyi-sembunyi. Bisa berabe, kalau ketahuan pengurus pondok.Â
Berawal dari menulis surat-surat cinta itulah, ketertarikan saya pada dunia menulis melebar, mulai senang membuat puisi dan cerpen. Beberapa kali ikut lomba namun tak pernah masuk nominasi. Maklum, mungkin saja puisi dan cerpen-cerpen saya bisa dibilang amatiran, naratif dan terbilang umum, tak ada yang istimewa.Â
Selepas dari pesantren, saya melanjutkan diri ke perguruan tinggi di Kampus Putih, Yogyakarta. Disinilah saya menemukan suasana, wadah dan berproses menulis. Bergabung dengan teman-teman pers mahasiswa, bertemu dengan penulis-penulis buku, menjadikan saya termotifasi untuk bisa seperti mereka.Â
Penulis realistisÂ
Di bangku perkuliahan saat itu saya mendapatkan mata kuliah penulisan artikel yang diampu oleh dosen Ahmad Munif, seorang novelis ternama. Ekspektasi saya tiba-tiba memudar ketika melihat sosoknya yang biasa-biasa saja, bahkan terbilang tua. Sebelum bertemu langsung dengannya, bayangan saya seorang Ahmad Munif adalah novelis muda yang tampan. Namun ternyata berbanding 180 derajat dengan kenyataannya.Â
Dari beliaulah saya mulai tergugah untuk senang menulis. Apalagi ketika saya bermain ke rumahnya, tumpukan koran, kliping koran serta deretan buku hasil karyanya terpampang begitu rapih. Ia pun pernah memberikan wejangan yang sampai sekarang masih teringat selalu.Â
"Menulis itu tidak harus yang berat-berat. Menulis itu apa yang kamu sukai. Menulislah sesuatu yang banyak orang sukai, menulislah tentang sesuatu yang banyak orang cari. Dan saya realistis, menulis untuk menghidupi keluarga".Â
Dari wejangan itulah saya memulai diri proses menulis. Minimal seminggu dua atau tiga kali saya membuat tulisan, kemudian saya kirimkan ke sebuah media cetak ternama di Yogyakarta. Ada beberapa rubrik yang waktu itu menjadi bagian proses menulis saya.Â
Pertama, yakni rubrik Sungguh-Sungguh Terjadi. Rubrik ini ringan, memuat tentang sesuatu yang betul-betul terjadi di sekitar kita, tetapi ada unsur unik, menariknya. Tulisannya bisasanya singkat, hanya beberapa kdlimat saja, seperti rubrik iklan kecil dan unik. Dari rubrik inilah saya sering mendapatkan honorarium, ya lumayan sih, untuk dua porsi makan atau bisa buat beli buku.Â
Kedua, rubrik Suara Mahasiswa. Tulisan saya waktu itu sering dimuat di rubrik ini. Selain prestisius, rubrik ini juga sebagai ajang mengasah kesabaran dan keuletan dalam proses menulis. Mulai dari sinilah saya semakin semangat menulis. Selain tulisan saya bisa tembus di media ternama, ternyata bagi beberapa dosen tertentu, menulis juga menambah nilai plus.
Seperti salah satu dosen Jurnalistik saya waktu itu. Namanya Hamdan Daulay. Ia menjanjikan kepada mahasiswanya yang mengikuti mata kuliahnya, akan diberikan nilai A, meski tak memenuhi seratus persen kehadirannya di kampus. Pokoknya asal bisa menulis, dan tulisannya bisa dimuat di media massa mana saja, serta mencantumkan almamater jurusan, fakultas dan ksmpusnya, dijamin nilainya bagus.Â
Hal itu saya buktikan sendiri. Setelah satu semester, tulisan saya bisa tembus ke beberapa media, saya kliping dan saya berikan kepadanya, langsung di akhir semester nilai mata kuliah jurnalistik saya adalah A+. Padahal beberapa kali pertemuan saya tidak masuk kuliah lho.
Tak berhenti sampai disitu. Biasanya tiap semester atau tiap tahun, fakultas memberikan reward kepada para mahasiswa yang tulisannya pernah di muat media massa, baik lokal maupun nasional. Dari situlah, saya bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Bisa untuk tambah-tambah biaya kuliah atau untuk beli buku.Â
Selepas kuliah, saya masih terus menulis. Dan pada akhirnya saya mencoba menulis sebuah buku berjudul Ayun-Ayun Badan, Himpunan Syair Dan Siuran Jawa. Buku itu memuat puisi dan syair tembang sholawat gubahan berbahasa Jawa, khususnya dialek Brebes Tegalan.Â
Saya yang dulu juga pernah berjualan beragam buku, sedikit banyak tahu tentang royalti penulis dan bagi penerbit. Di Indonesia umunya, selama ini memang tergolong kecil, royalti bagi penulis. Dari pertimbangan dan pengalaman itulah, saya mencetak buku sendiri, mikir sendiri, modal sendiri serta menjual sendiri buku saya. Alhamdulillah cetakan pertama, ludes 1000 eksemplar.
Keberhasilan itu  tidak lain karena melalui proses menulis yang panjang, juga didukung dengan dengan wejangan para guru-guru kami, bahwa menulislah yang realistis, yang ringan dan laku dipasaran.Â
Imam Chumedi, KBC-28Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H