Mohon tunggu...
khumaediimam
khumaediimam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Teruslah menebar kebaikan, karena kebaikan yang mana yang diridhai, tiada kita tahu

Menulis Atau Mati.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Impian Sosial

5 September 2020   09:23 Diperbarui: 5 September 2020   09:19 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari, di bangku perkuliahan, seorang dosen ilmu sosial sedang mengajar para mahasiswanya. Satu persatu masalah sosial yang ada di masyarakat diurai, mulai dari angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, anak-anak terlantar, pelecehan seksual, kekerasan pada anak, kekerasan dalam rumah tangga, sampai pada realita masih banyaknya anak yang putus sekolah. Diskusi antar mahasiswa dan dosen pun berlangsung asyik. Layaknya sebuah acara debat publik yang sering kita saksikan di beberapa televisi swasta.

"Oke, kawan-kawan. Itulah realita persoalan sosial masyarakat yang ada, dan semua itu tak bisa kita pungkiri apa adanya. Semoga kita semua bisa menjadi bagian dari agen perubahan (agen of change)". Demikian sang dosen menyimpulkan diskusi mata kuliahnya.

"Sebelum saya tutup mata kuliah ini, sekedar ingin tahu saja. Apa sih sebenarnya impian kawan-kawan sekalian untuk sepuluh tahun mendatang?"

"Saya pak. Sepuluh tahun mendatang, saya ingin mewujudkan impian saya, yaitu berkeluarga, punya suami tampan dan mapan, dikarunia momongan, punya rumah, tanah dan mobil mewah". Jawab seorang mahasiswi dengan percaya diri.

"Kalau impian saya, sepuluh tahun mendatang adalah menjadi pengusaha sukses dengan puluhan karyawan dan omsetnya milyaran rupiah". Sela salah seorang mahasiswa penuh semangat.

"Impian terbesar saya adalah menjadi seorang dosen. Sepuluh tahun mendatang, setidaknya saya sudah menyandang gelar seorang Doktor. Menjadi salah seorang dosen teladan di sebuah kampus ternama.

"Impian dan cita-cita saya selama ini pengin jadi Pegawai Negeri Sipil. Tiap bulan dapat gaji, hari tua dapat pensiunan."

Beberapa mahasiswa telah mengutarakan impiannya bahkan cita-citanya sedari kecil. Tapi sang dosen, terlihat hanya tersenyum, mengangguk-angguk sembari menggelengkan kepalanya, seolah ada yang kurang berkenan dengan apa yang disampaikan para mahasiswanya.

"Maaf pak, memangnya ada yang salah dengan jawaban kami?" sela seorang mahasiswa penuh penasaran.

"Oh, tidak. Semua jawaban kalian tidak ada yang salah, semuanya benar dan bagus."

"Tapi....??" sang dosen sempat terdiam.

"Tapi kenapa pak?" tanya mahasiswa lainnya agak penasaran.

"Tapi...saya agak heran!"

"Heran? Memangnya heran kenapa pak?"

"Maaf, saya heran dengan jawaban kalian. Mengapa tak satu pun saya dapatkan impian kalian yang peduli pada realita sosial. Tak adakah diantara kalian yang bercita-cita mendirikan atau membangun sekolah bagi mereka yang tidak mampu?"

"Tak adakah dalam benak kawan-kawan untuk mendirikan panti asuhan, membangun jembatan penghubung, rumah sakit atau panti rehabilitasi bagi mereka para korban kekerasan dan pelecehan seksual?"

"Tak adakah keinginan dari kalian untuk menjadi bagian untuk membangun mentalitas mereka para disabilitas, penyandang cacat dan mereka yang mengalami trauma musibah?

"Sungguh miris. Padahal baru saja kita mengurai masalah sosial, tapi individualistis serta sifat egois masih saja melekat, tak terkecuali dalam sebuah impian dan cita-cita kita. Sehingga impian yang kalian utarakan tak lebih dari sebuah impian atau cita-cita individu semata, bahkan bermuara pada matrealistis. Persoalan sosial yang ada seolah hanya sebagai bahan perbincangan, materi diskusi yang asyik untuk diperdebatkan saja, dan bukan merupakan tanggung jawab kita bersama. Dimanakah human interest kita?

Seluruh mahasiswa hanya bisa diam, ada pula yang tertunduk malu pada dirinya sendiri. Ada pula yang masih bengong. Sang dosen pun segera menutup perkuliahannya, dan beranjak meninggalkan kelas.

 

Imam Chumedi, KBC-28

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun