"Tapi kenapa pak?" tanya mahasiswa lainnya agak penasaran.
"Tapi...saya agak heran!"
"Heran? Memangnya heran kenapa pak?"
"Maaf, saya heran dengan jawaban kalian. Mengapa tak satu pun saya dapatkan impian kalian yang peduli pada realita sosial. Tak adakah diantara kalian yang bercita-cita mendirikan atau membangun sekolah bagi mereka yang tidak mampu?"
"Tak adakah dalam benak kawan-kawan untuk mendirikan panti asuhan, membangun jembatan penghubung, rumah sakit atau panti rehabilitasi bagi mereka para korban kekerasan dan pelecehan seksual?"
"Tak adakah keinginan dari kalian untuk menjadi bagian untuk membangun mentalitas mereka para disabilitas, penyandang cacat dan mereka yang mengalami trauma musibah?
"Sungguh miris. Padahal baru saja kita mengurai masalah sosial, tapi individualistis serta sifat egois masih saja melekat, tak terkecuali dalam sebuah impian dan cita-cita kita. Sehingga impian yang kalian utarakan tak lebih dari sebuah impian atau cita-cita individu semata, bahkan bermuara pada matrealistis. Persoalan sosial yang ada seolah hanya sebagai bahan perbincangan, materi diskusi yang asyik untuk diperdebatkan saja, dan bukan merupakan tanggung jawab kita bersama. Dimanakah human interest kita?
Seluruh mahasiswa hanya bisa diam, ada pula yang tertunduk malu pada dirinya sendiri. Ada pula yang masih bengong. Sang dosen pun segera menutup perkuliahannya, dan beranjak meninggalkan kelas.
Â
Imam Chumedi, KBC-28
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H