Menjelang Pilpres RI 2019, akhirnya kita mempunyai dua calon pasangan yang akan bertarung di Pilpres RI 2019. Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi (penyebutan urutan bukan bentuk dari preferensi saya) adalah dua pasang anak bangsa yang sekarang ini menjadi tumpuan masa depan Indonesia untuk mencoba meraih harapan yang lebih baik.Â
Dan bersamaan dengan itu, terdapat dinamika yang patut dicermati dalam diri kaum Nahdliyin (NU). Hal ini dipicu oleh terlibatnya para tokoh NU dalam tim pemenangan kedua calon.
Keterlibatan para tokoh NU dalam Pilpres 2019 turut membuktikan bahwa peran politik kaum Nahdliyin dinegeri ini masih aktual dan berada pada posisi sentral. Namun persoalan yang perlu menjadi bahan pembuktian adalah tentang paradigma primordialisme-aliran.Â
Sebab melejitnya posisi Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam pemilu presiden langsung 2004 jelas meninggalkan pembelajaran politik tersendiri bagi NU.Â
Saat itu pasangan SBY-JK menduduki posisi teratas dengan suara sementara 33 persen, disusul pasangan Mega-Hasyim, 26 persen, Wiranto-Gus Solah 24 persen, Hamzah-Agum 3 persen (Kompas, 9/7).
Pemilu langsung waktu itu benar-benar membuat kalkulasi politik tentang paradigma primordialisme-aliran, tidak terbukti.Â
Mega dan Wiranto yang waktu itu ingin memanfaatkan fanatisme kiai dari warga NU harus kecewa seiring 32 persen suara nahdliyin " ternyata lebih memilih" figur SBY-JK. Namun, apakah politik NU juga akan berlaku terhadap pasangan Jokowi-JK, hal ini sungguh menjadi pertanyaan menarik.Â
Sebab politik adalah seni tentang kemungkinan (politic is the art of possibility) dan NU merupakan ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang telah terbukti mempunyai potensi politis besar.Â
Fanatisme warga, yang terbentuk oleh apa yang disebut Donald E Smith (1970) sebagai sistem politik tradisional berdasarkan keagamaan, telah membuat NU bergelimang sejarah politik praktis.
Belajar Dari Sejarah
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah cerita politik NU yang sering tidak berakhir bahagia (happy ending) dan cenderung "dilukai".Â
Dimulai saat terpinggirkannya orang-orang NU di Masyumi (1939), yang menyebabkan NU berdiri sendiri sebagai Partai Nahdlatul Ulama (1952) dengan kemenangan mengimbangi PNI dan PKI, NU mengalami pemberangusan oleh Orde Baru.Â
Pemberangusan itu menyebabkan "tubuh gemuk" NU dipangkas dalam PPP (1973), yang terbukti "menyakiti" dengan memarjinalkan wakil nahdliyin dalam kabinet (Mujamil Qomar, NU Liberal, Mizan: Bandung, 2002).
Berangkat dari "sakit hati" serta keinginan reorientasi organisasi, NU meninggalkan ranah politik praktis dengan menggelorakan "politik tanpa politik" (unpolitical politics) lewat Khittah 1926.Â
Namun, saat kebebasan politik seiring pasca runtuhnya Presiden Soeharto, mendorong NU untuk membidani lahirnya PKB, selain partai- partai kecil semacam PKU, PNU dan PKNU.
Puncak keemasan sekaligus ketragisan adalah saat Abdurrahman Wahid naik sebagai Presiden ke-4 RI, sekaligus dilengserkan ramai-ramai. NU ter-"luka", khususnya terhadap golongan modernisme Islam (Poros Tengah-Golkar) dan kaum abangan-nasionalis (PDI-P).Meski demikian pada Pilpres 2014 ini melalui kenegarawanan politiknya, PKB kembali menjalin kemitraan politik dengan PDIP untuk mengusung Jokowi-JK.
Bertolak dari hal ini, kiranya perlu mencermati dua alternatif politik NU yang sebenarnya pernah membesarkan NU dalam kancah kebangsaan. Wilayah politik itu seperti termaktub dalam taushiyah Syuriah PBNU di Rembang jilid II (30/6).
 Wilayah pertama dan tertinggi adalah politik kerakyatan. Politik model ini dilakukan NU pada awal berdirinya (1926) dengan menandaskan diri sebagai jam'iyyah diniyyah yang melindungi praktik Islam lokal dari "pemberangusan budaya" (ikonoklasme) yang dilakukan gerakan puritanisme Islam ala Wahabisme Timur Tengah. NU melindungi tradisi keagamaan orisinal masyarakat Indonesia dengan pendekatan pendidikan kebudayaan.
Kedua, politik kenegaraan. Politik ini dijalankan NU melalui keterlibatan wakilnya semisal KH Wahid Hasyim dalam perumusan UUD negara (1945), dengan menyelamatkan Pancasila dari praktik eksklusivisme Islam.Â
NU juga terbukti tidak terlibat berbagai pemberontakan bahkan ikut memberangus G30S.Â
Politik kenegaraan NU juga dijalankan dengan manis melalui gerakan oposisi kultural terhadap otoritarianisme Soeharto (1984-1998). NU dalam masa ini betul-betul menjadi primadona civil society (Syafiq Hasyim, 2004).
Atau mengambil alternatif ketiga yakni politik kekuasaan. Politik ini merupakan model terendah namun sempat dipilih NU. Terbukti pasca-Khittah 26, masih terjadi perang posisi (war of position) antara sayap politisi dan sayap civil society.Â
Terjerembabnya NU dalam politik kekuasaan berawal dari kesediaan Gus Dur sebagai capres Pemilu 1999, serta cawapresnya Ketua PBNU Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004.Â
Hingga pelibatan struktural NU dalam Pilpres dan pada kasus pilkada didaerah, yang nyatanya tidak malah berkontribusi positif bagi NU baik secara kelembagaan maupun kultural.
Sehingga dalam menyikapi Pilpres 2014, hal yang harus dikedepankan adalah literasi politik nahdliyin yang sebenarnya. Bukan hanya menjadi "pendulang (vote gater)" dalam kalkulasi kuantitas dan peran cultural broker (Clifford Geertz, 1955:32).Â
Akan tetapi juga harus mampu menjelma menjadi kekuatan civil society yang menjalankan peran counter balancing terhadap negara dari peran opinion leader yang selama ini dimiliki NU. Mengingat, politik hanyalah "salah satu" bentuk dari pilihan yang ada di kehidupan kita yang berada pada domain bernama "privasi".Â
Yang artinya setiap orang "berhak" untuk memilih sesuatu berdasarkan apa yang dia sukai (tentunya dia yakini baik bagi dirinya) dengan tanpa keharusan menjelaskan mengapa dia menyukai hal tersebut (baca: privasi).
Pilihan politik adalah sesuatu yang sederhana, sama dengan kenapa kita menyukai sebuah warna favorit tertentu, makanan tertentu, film tertentu tanpa harus bilang bahwa warna yang kita sukai adalah yang terbaik, dan warna orang lain tidak ( baca: salah ), atau makanan yang kita sukai adalah yang terbaik, lalu kita marah-marah dan menghujat ketika orang lain memilih makanan yang lain.
Keyakinan diri yang harus dimunculkan adalah bahwa dua pasang anak bangsa ini adalah mereka yang terbaik yang dapat memimpin Indonesia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing.Â
Mari kita pelajari dan pahami seluruh program yang mereka tawarkan, dengan segala kemampuan nalar dan logika masing-masing. simpan pilihan dalam hati dan wujudkan hak suara nanti.Â
Seperti yang pernah disampaikan oleh KH. Mustofa Bisri " Kalau kita boleh meyakini apa yang kita anggap benar, kenapa orang lain tidak boleh mempertahankan apa yang mereka yakini?" Ini Pesta Demokrasi, mari kita hiasi dengan visi dan misi bukan saling mencaci dan mencederai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H