Mohon tunggu...
Khudrotun Nafisah
Khudrotun Nafisah Mohon Tunggu... Pembelajar Demokrasi dan Kemanusiaan -

Media informasi Divisi SDM dan Organisasi Badan Pengawas Kabupaten Jombang seputar kegiatan pengawasan pemilu 2019. Ditujukan untuk memberikan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aktualisasi Resolusi Jihad dalam Pengawasan Pemilu 2019

26 November 2018   10:02 Diperbarui: 26 November 2018   10:13 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : portaltiga.com

Dinamika Nahdlatul Ulama (NU) dan Pemilu 2019, mendorong keturunan (dzurriyah) para pendiri NU menggelar halaqah penegakan khitthah NU 1926, di Dalem Kasepuhan, PP Tebuireng, Jombang, Rabu (24/10/2018). Selain membentuk 'Komite Khitthah', ada tiga keputusan penting yang perlu disampaikan kepada warga NU, termasuk bagaimana menghadapi Pilpres 2019. 

Ada tiga hal yang telah diputuskan. Pertama, bahwa NU harus berdiri tegak di atas khitthah 1926, Kedua, NU tidak ada urusan dengan partai politik mana pun, dan tidak berpihak kepada siapa pun, termasuk dalam Pilpres 2019. Ketiga, NU memberikan kebebasan kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya sesuai dengan sembilan butir pedoman berpolitik warga NU

Tak lama berselang lama, pada ahad Ahad (11/11/2018) Pusat Kajian Hasyim Asy'ari Tebuireng mengadakan Seminar Nasional dengan tema "Aktualisasi Resolusi Jihad untuk Persatuan Bangsa menuju Pemilu Damai" bermaksud untuk mencari solusi dari ketegangan politik menjelang Pilpres 2019. Tanpa bisa dipungkiri disetiap perhelatan pemilu dunia pesantren seolah menjadi vote gather bagi pasangan calon atau partai tertentu.

Namun menapaki tahun ketiga peringatan hari Santri Nasional sejak penetapan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, mematangkan akar kesejarahan kita semua terhadap fakta sejarah ikrar resolusi jihad. Fatwa bela negara yang dikeluarkan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 untuk menyeru membela negara adalah sebagian jihad. Seruan kemandirian untuk bersikap tanpa berpihak kepada satu golongan tertentu.

Dalam konteks kontemporer kekinian ikrar ini pun diharuskan untuk bermetamorfosis menjadi upaya Santri memantaskan diri ditengah tantangan dan dinamika kekinian.Santri yang semula menjadi identitas sub kultur kalangan yang mondok di pesantren, dalam konteks kebangsaan perlu diarahkan menjadi identitas kebangsaan. 

Terlebih juga bukan merupakan modalitas politik untuk menegaskan seseorang lebih santri daripada yang lain atau dapat menjadi modus devide et impera baru.

Identitas kebangsaan yang dimaksud ditujukan untuk membentuk inklusif isme hari santri. Sebab jika dulu kita mengangkat senjata untuk memerdekakan diri maka kini senjata kita adalah ilmu pengetahuan. Seiring perkembangan zaman dengan ditandai munculnya alat-alat  canggih dengan memberikan ruang yang positif untuk mengisi kemajuan. 

Namun sisi lainnya adalah tantangan tersendiri bagi bangsa yang harus ditaklukkan. Resolusi jihad perlu dijadikan naskah tafsir baru atas segala peran pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tersebut tidak hanya berhenti menjadi "naskah mati".

Modalitas Literasi Politik Santri

Mengaktualisasikan resolusi jihad dalam kepemiluan berarti memberikan pendididikan literasi politik santri. Literasi politik bagi santri tentu saja tidak bermuara pada menjadi vote gather, atau sekedar massa yang siap dimobilisasi kemana saja. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, idealnya Pemilu (termasuk Pilkada) tidak hanya diikuti oleh jumlah pemilih yang banyak (kuantitas) sehingga angka partisipasi menjadi tinggi, melainkan juga berlangsung dalam suasana yang kompetitif, transparan, adil dan akuntabel (kualitas), serta dapat menghasilkan pilihan-pilihan pemimpin politik yang kompeten dan berintegritas. 

Dengan kata lain, pemilu bukan hanya menghasilkan tingkat partisipasi yang tinggi, tetapi juga menghasilkan mutu partisipasi yang berkualitas. Untuk menghasilkan pemilu yang berkulitas dengan partisipasi yang juga berkualitas ini diperlukan prakondisi tertentu yang, salah satunya adalah performance para pemilih (voters) yang melek, cerdas dan kritis secara politik, sehingga preferensi politiknya bersifat rasional (rational choice).

 Pemilih rasional (cerdas dan kritis) secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran electoral (kepemiluan), melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti money politics; serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.

Terkait performansi pemilih, Affan Gafar (1994:34) memetakan dua tipologi pembentukan perferensi pemilih dalam pemilu; 1) kecenderunan munculnya pemilih patronase, yakni pemilih yang mendasarkan pilihannya pada ketokohan dan figur tertentu, yang dianggap dapat mencitrakan dirinya sebagai pemimpin; 2) munculnya fenomena pemilih ABS (Asal Bapak Senang), yakni pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih follower yang mengikuti suara-suara mayoritas. 

Secara hipotetis para pemilih irrasional atau pemilih yang "buta politik" (political illiteracy) ini memberikan kontribusi (berdampak) terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu yang tidak berkualitas; pemilu yang diwarnai oleh praktik-praktik transaksional seperti money politics dan mobilisasi; pemilu yang melahirkan lebih banyak para kandidat terpilih (baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif) yang nir-integritas dan jauh dari kompeten.

Belajar dari fakta hasil pilkada Jawa Timur 2018, meski lekat dengan kultur keislaman dan pengaruh budaya patriarki tak menghalangi Jawa Timur untuk memiliki kepala daerah perempuan. Buktinya, provinsi dengan 38 kabupaten dan kota itu akan memiliki seorang gubernur, sembilan kepala daerah, dan lima wakil kepala daerah berjenis kelamin perempuan. 

Tentu ini tidak berarti masyarakat Jawa Timur tidak hormat kepada Kiai, menurut saya mereka menghormati kiai. Tapi ketika masuk ke pilihan politik, pengaruh kiai itu lepas.

Ruang Pengawasan Pemilu

Merujuk pada pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) dalam kajian ilmu politik, nalar argumentasi penguatan kajian ini dapat dirumuskan, bahwa untuk mengonsolidasikan demokrasi maka diperlukan pemilu yang berkualitas; sementara pemilu yang berkualitas membutuhkan prasyarat atau prakondisi para pemilih (voters) yang cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab dengan pilihannya. 

Pemilih dengan --antara lain---karakteristik inilah yang kemudian lazim dikategorikan sebagai pemilih yang literate (melek) secara politik.

Menguatnya fenomena politik identitas jadi salah satu penyebab dari tingginya nilai jual tokoh-tokoh berlatarkan identitas tertentu. Oleh sebab itu keterlibatan santri tidak cukup hanya dengan partisipasi pemberian suara saja, tetapi sekaligus untuk dengan mengawasi proses tahapannya. 

Prakondisi Pemilu 2019 yang berkualitas membutuhkan adanya para pemilih yang literate (melek) secara politik, yang memungkinkan partisipasi pemilih bukan saja tingi secara kuantitas, melainkan juga bermutu derajat kualitasnya. Pemilih yang literate secara politik adalah pemilih yang memahami, selain aspek-aspek pengetahuan teknis elektorasi, juga memahami aspek-aspek yang bersifat substantif dari isu-isu politik jangka Panjang dan bersifat keseharian (daily governing) seperti isu policymaking, dampak suatu kebijakan politik terhadap kehidupan warga negara dll. 

Selain itu, pemilih yang melek politik diharapkan juga akan memiliki integritas tinggi, kecerdasan dan daya kritis, serta rasionalitas dan tanggungjawab politik sebagai warga negara.

Pemilih literate tidak dapat hadir dengan sendirinya dalam kegiatan-kegiatan politik yang kompleks. Mereka, terutama para pemilih pemula yang untuk pertama kalinya menggunakan hak pilih dalam suatu pemilu adalah para amatir dalam politik (political amateurs), yang perlu mendapatkan pendidikan politik untuk bisa sampai pada level sebagai pemilih dengan tingkat literasi minimal memadai. 

Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sekaligus sarana aktualisasi partisipasi masyarakat sekaligus para santri sebagai pemegang kedaulatan dalam penentuan jabatan publik. Sebagai pemegang kedaulatan, posisi masyarakat sekaligus para santri dalam Pemilu ditempatkan sebagai subyek, termasuk dalam mengawal integritas Pemilu, salah satunya melalui pengawasan Pemilu partisipatif. 

Membangun komitmen untuk menolak politik uang, menolak kampanye hitam adalah sebagianikhtiar-ikhtiar kongkret dan berkesinambungan untuk meningkatkan literasi politik mereka. Mengaktualiasikan peran penting resolusi jihad tidak cukup hanya menampilkan peran santri hanya pendulang suara, tetapi juga pengawas pemilu 2019 yang memastikan keadilan rakyat Bersama Bawaslu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun