Pemilih rasional (cerdas dan kritis) secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran electoral (kepemiluan), melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti money politics; serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.
Terkait performansi pemilih, Affan Gafar (1994:34) memetakan dua tipologi pembentukan perferensi pemilih dalam pemilu; 1) kecenderunan munculnya pemilih patronase, yakni pemilih yang mendasarkan pilihannya pada ketokohan dan figur tertentu, yang dianggap dapat mencitrakan dirinya sebagai pemimpin; 2) munculnya fenomena pemilih ABS (Asal Bapak Senang), yakni pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih follower yang mengikuti suara-suara mayoritas.Â
Secara hipotetis para pemilih irrasional atau pemilih yang "buta politik" (political illiteracy) ini memberikan kontribusi (berdampak) terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu yang tidak berkualitas; pemilu yang diwarnai oleh praktik-praktik transaksional seperti money politics dan mobilisasi; pemilu yang melahirkan lebih banyak para kandidat terpilih (baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif) yang nir-integritas dan jauh dari kompeten.
Belajar dari fakta hasil pilkada Jawa Timur 2018, meski lekat dengan kultur keislaman dan pengaruh budaya patriarki tak menghalangi Jawa Timur untuk memiliki kepala daerah perempuan. Buktinya, provinsi dengan 38 kabupaten dan kota itu akan memiliki seorang gubernur, sembilan kepala daerah, dan lima wakil kepala daerah berjenis kelamin perempuan.Â
Tentu ini tidak berarti masyarakat Jawa Timur tidak hormat kepada Kiai, menurut saya mereka menghormati kiai. Tapi ketika masuk ke pilihan politik, pengaruh kiai itu lepas.
Ruang Pengawasan Pemilu
Merujuk pada pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) dalam kajian ilmu politik, nalar argumentasi penguatan kajian ini dapat dirumuskan, bahwa untuk mengonsolidasikan demokrasi maka diperlukan pemilu yang berkualitas; sementara pemilu yang berkualitas membutuhkan prasyarat atau prakondisi para pemilih (voters) yang cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab dengan pilihannya.Â
Pemilih dengan --antara lain---karakteristik inilah yang kemudian lazim dikategorikan sebagai pemilih yang literate (melek) secara politik.
Menguatnya fenomena politik identitas jadi salah satu penyebab dari tingginya nilai jual tokoh-tokoh berlatarkan identitas tertentu. Oleh sebab itu keterlibatan santri tidak cukup hanya dengan partisipasi pemberian suara saja, tetapi sekaligus untuk dengan mengawasi proses tahapannya.Â
Prakondisi Pemilu 2019 yang berkualitas membutuhkan adanya para pemilih yang literate (melek) secara politik, yang memungkinkan partisipasi pemilih bukan saja tingi secara kuantitas, melainkan juga bermutu derajat kualitasnya. Pemilih yang literate secara politik adalah pemilih yang memahami, selain aspek-aspek pengetahuan teknis elektorasi, juga memahami aspek-aspek yang bersifat substantif dari isu-isu politik jangka Panjang dan bersifat keseharian (daily governing) seperti isu policymaking, dampak suatu kebijakan politik terhadap kehidupan warga negara dll.Â
Selain itu, pemilih yang melek politik diharapkan juga akan memiliki integritas tinggi, kecerdasan dan daya kritis, serta rasionalitas dan tanggungjawab politik sebagai warga negara.