Kau adalah malam yang bersekutu bersama gelap
dengan tangan dinginÂ
telah kauhapus rona  jinggaÂ
yang sengaja kutorehkan di langit senjaÂ
setelah kaki-kaki siang lunglai di sudut langit.
Sedikit pun tak terucap dari bibirmu
kata-kata manis sepadan rekah gincuÂ
yang selama ini memerahÂ
dan selalu kuanggap madu.
Entah apa yang membuatmu terpesona mimpiÂ
yang bahkan ranjang persemaian benihnya  belum juga tersiap.
 Bening bola matamu masih menyala
namun tak jua mampu mencerna
pancarona yang kusuguh.
Langkah kakimu begitu kukuh
memilih lorong setapak malamÂ
yang kauyakini mampu memberi terang.
Yah!Â
Mungkin itu benarÂ
dan dengan keteguhan yang tergenggamÂ
kauingin menunjukkanÂ
tentang apa yang selama ini kutentangÂ
yang sebenarnya hanya untuk mengajakmu memahamiÂ
tentang kebahagiaanÂ
dalam sebuah kebersamaan.
Satu hal yang kau lupaÂ
atau mungkin sengaja kau singkirkan dari ingatanmuÂ
tentang apa yang selama ini aku perjuangkanÂ
untuk kebahagiaan kitaÂ
namun tetes peluhku hanya kauanggap sekadar serintik gerimis di gersang SaharaÂ
yang tak mampu menghapus dahaga
dari sengat ekspektasimu yang membakar rasa
Ambon, mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H