TUNGGU, riwayat yang kuceritakan ini belum tamat. Seperti yang kujelaskan tadi, aku tertidur sepanjang perjalanan dan tak tahu kemana ketiga perempuan itu membawaku. Oh, sebentar, aku ingat sekarang. Merekalah yang kerap mengisi mimpi dan imaji-imajiku. Ya, tidak salah lagi. Itu mereka! Para bissu yang kuyakini bakal jadi Ibu baru bagiku selama di rantau. Ya, andai saja kamu bisa berada di sini. Dan, ommalek!
Lihatlah! Mereka sedang mempersiapkan upacara mapparebba, ritus sakral yang hanya dilakukan setiap hendak melantik anggota bissu baru. Tahukah kamu siapa yang akan dilantik? Aku. Ya, aku. Lihat, mereka duduk mengelilingi arajang, tempat bakal muncul Batara—Tuhan yang mereka imani. Belakangan aku tahu, tidak semua calabai bisa menjadi bissu. Hanya yang terpilih. Mereka kelak akan meneruskan lelaku penghubung antara Tuhan, penguasa, dan manusia. Yang akan menentukan kapan musim tanam tiba, membilang tanggal bajik, dan rupa-rupa amanat lain. Dulu mereka nyaris punah diberangus karena dituding musyrik dan menyimpang dari ajaran agama. Hari ini, aku jadi bagian tak terpisahkan dari mereka.
Sekarang, aku tak pernah lagi berniat jadi lelaki.
|5|
pada seorang perempuan
aku dikepung kenangan[8]
SEJAK ITU aku merasa dilahirkan kembali. Tanpa caci-maki, tanpa cibiran. Kini aku jadi bissu termuda. Lelaki paling lelaki yang piawai memainkan atraksi maggiri—menusuk tubuh dengan pisau, kalewang, keris, atau badik. Aku pun menjelma perempuan paling perempuan yang suci karena tak pernah menstruasi, dan tak berdarah karena tubuh tak tembus besi atau timah. Tapi, tahukah kamu apa yang paling kurindukan hari ini?
Aku rindu hangat pelukmu, Ibu.
Oh, maaf, hampir saja aku lupa. Tadi, Kanang, kakak sulungku, datang bertandang. Dia kabarkan Ayah sedang sekarat dan memanggil namaku dalam igau dan sadarnya. Ah, meleleh airmataku. Tapi, aku tak berniat pulang karena aku merasa gagal jadi lelaki seperti harapan Ayah.
“Pulanglah, andik. Sebentar saja…,” bujuk kakakku.
“Tidak, daeng. Aku tidak pernah utuh sebagai lelaki. Ayah pasti kecewa,” jawabku.
Kakakku pulang dengan tangan hampa.
Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus menemui Ayah?