Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan jima’. Puasa umum ini hanyalah puasa secara seremonial belaka. Puasa seremonial berlandaskan hukum literal saja. Imbasnya, pengaplikasian ibadah puasa dalam kehidupan sehari-hari cenderung stagnan. Tidak ada dinamika dialektika sosial antara pelaksanaan salah satu Rukun Islam tersebut dengan kehidupan nyata.
Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Orang-orang yang berpuasa secara psikokultural mendominasi kelompok kedua. Yakni pelaku ibadah puasa yang tidak saja menjalankan ibadah puasa atas dasar kesadaran diri. Namun lebih menekankan pada aktualisasi ibadah puasa hingga menyentuh wilayah kultural dan psikologis.
Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah. Orang-orang yang berpuasa khusus yang lebih khusus menjadi grup terakhir. Kelompok inilah yang menjadi golongan paling ideal dalam menjalankan ibadah puasa. Totalitas pemaknaan ibadah puasa tidak lagi pada tataran fisik dan rohani saja. Tetapi sekaligus menembus kosmos kesadaran manusia menuju cahaya Ilahi. Ibadah puasa, bukan sekedar menahan rasa lapar dan dahaga serta hawa nafsu yang membatalkan puasa. Namun puasa level ketiga tadi adalah hanyalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.
Terus sayangnya, tidak semua pemimpin, pejabat negara, tokoh masyarakat, anggota legislatif, para pamong praja dan para aparat penegak hukum mampu puasa khusus. Kalau sudah demikian, bagaimanakah nasib pemberantasan korupsi di negeri ini nantinya?
Di sinilah perlunya pemahaman kembali makna perintah ibadah puasa secara menyeluruh. Jangan sampai ibadah puasa hanya diartikan sekedar menahan rasa lapar dan dahaga semata. Penghayatan makna ibadah puasa secara transedental yang meliputi pencerahan makna puasa fisik-batiniah, harus dibarengi perilaku sosial yang membawa pencerahan setiap makhluk hidup dan lingkungan di sekitar kita. Sehingga dengan ibadah puasa ini salah satunya menjadi wahana untuk mendidik diri tidak koruptif.
Untuk mendapatkan ibadah puasa kita tergolong puasa khusus, Imam Al Ghazali sudah memformulasikan enam langkah yang harus kita lakukan. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah.
Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran.
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah SAW menjelaskan: Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa.
Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari berbuat maksiat dan mungkar, mencegah perut dari memakan yang syubhat dan haram.
Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana dia berusaha mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, jika saat berbuka dia justru memanjakan nafsunya dengan makanan yang terhitung banyak dan bermacam jenisnya.
Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas (khauf) dan harap (raja’), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualiti puasa yang telah dilakukan, sedangkan penuh harap berperanan dalam menumbuhkan optimisme.