Mohon tunggu...
khozanah hidayati
khozanah hidayati Mohon Tunggu... -

Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa dengan 4 putra, tinggal di kota kecil Tuban Jatim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puasa Ramadhan Sebagai Wahana Pendidikan Anti Korupsi

10 Agustus 2010   17:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:09 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini kita sebagai muslim sedang menjalankan ibadah puasa ramadhan sebulan penuh. Ibadah puasa ramadhan ini diperintahkan Allah agar kita menjadi semakin bertaqwa kepadaNYA. Disamping itu puasa ramadhan juga mengajarkan kepada kita beberapa hikmah yang tersirat di dalamnya.

Coba kita simak suatu cerita menarik berikut ini yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Suatu hari beliau melakukan perjalanan dari Madinah ke Mekah. Di tengah perjalan beliau berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala.

Khalifah Umar berkata, “Wahai Anak Pegembala, juallah kepadaku seekor kambingmu.”
“Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya,” jawab Si Pengembala.
“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala,” lanjut Khalifah. Kemudian Si Pengembala menjawab dengan sebuah pertanyaan, “Lalu, di mana Allah?”
Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata, “Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak.”

Kisah di atas merupakan gambaran pribadi yang jujur, menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, dan tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi.

Demikian juga hal ini terjadi pada seorang muslim yang lagi menjalankan puasa. Dia akan berlaku jujur dan menjalankan disiplin yang kuat, tidak melakukan kebohongan walau sebenarnya dia bisa melakukannya, misalnya makan atau minum, namun karena dia beriman bahwa puasanya hanya karena Allah maka dia bisa menahan dirinya.

Pelajaran-pelajaran berharga tersebut ditambah kearifan menjalani hidup dan mempunyai solidaritas sosial yang tinggi merupakan bentuk pelajaran anti korupsi yang didapatkan oleh seseorang yang menjalankan ibadah puasa.

Jika dan hanya jika ibadah puasa bisa dikerjakan secara ikhlas, serius dan jujur dijamin kualitas keimanan seseorang bakal meningkat tajam setelah menjalani ibadah puasa ini.

Puasa, sejujurnya merupakan metode pendidikan yang paling efektif untuk menumbuhkan semangat solidaritas sosial, kedisiplinan, sikap kejujuran dan anti korupsi. Bila lembaga pendidikan formal saat ini dinilai sebagian pihak telah gagal mengajarkan para peserta didiknya memiliki sifat kejujuran, karena terbukti masih maraknya kasus-kasus korupsi di negeri ini, maka melalui ibadah puasa ramadhan ini diharapkan dapat memunculkan kesadaran diri manusia untuk bersikap selalu jujur, berdisiplin dan mempunyai solidaritas sosial yang tinggi. Sehingga ibadah puasa dijadikan wahana ampuh sebagai proses pendidikan anti korupsi.

Namun kenapa korupsi di negeri ini semakin hari semakin menjadi-jadi? Terjadi disemua lini mulai dari eksekutif, di lembaga-lemabaga wakil rakyat, para pengusahapun dengan terpaksa juga harus ikut arus korupsi, bahkan semakin menggila di pihak-pihak pengawal konsitusi dan hukum. Padahal pelaksanaan kegiatan puasa juga semakin semarak, ini ditandai dengan semaraknya pelaksanaan buka puasa bersama di mana-mana, ibadah sholat tarawih di masjid-masjid, mushola-mushola, sekolahan, kampus dan kantor-kantor pemerintahan. Bahkan tidak ketinggalan, beragam LSM serta Ormas berlomba-lomba mengadakan aksi solidaritas sosial dengan menggelar pengobatan massal gratis, aksi bagi-bagi makanan untuk berbuka, sahur dan masih banyak lagi.

Kalau kita renungkan secara seksama, tentunya ironi kondisi ini tentunya ada sesuatu yang salah akan puasa yang kita jalankan. Karena sebenarnya puasa bisa dijadikan wahana pendidikan antikorupsi. Jika ibadah puasa dijalankan atas dasar kesungguhan hati untuk mendapatkan ridho Ilahi tentunya nilai-nilai spiritualitas puasa bisa memangkas budaya korupsi di negeri ini. Sebab substansi ibadah puasa mengajarkan pada manusia untuk selalu bersikap jujur, solider dan setia kawan serta tidak tamak dan tidak rakus.

Pada tataran ini terjadi klasifikasi puasa yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, tingkatan puasa diklasifikasi menjagi tiga, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus yang lebih khusus lagi.

Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan jima’. Puasa umum ini hanyalah puasa secara seremonial belaka. Puasa seremonial berlandaskan hukum literal saja. Imbasnya, pengaplikasian ibadah puasa dalam kehidupan sehari-hari cenderung stagnan. Tidak ada dinamika dialektika sosial antara pelaksanaan salah satu Rukun Islam tersebut dengan kehidupan nyata.

Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Orang-orang yang berpuasa secara psikokultural mendominasi kelompok kedua. Yakni pelaku ibadah puasa yang tidak saja menjalankan ibadah puasa atas dasar kesadaran diri. Namun lebih menekankan pada aktualisasi ibadah puasa hingga menyentuh wilayah kultural dan psikologis.

Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah. Orang-orang yang berpuasa khusus yang lebih khusus menjadi grup terakhir. Kelompok inilah yang menjadi golongan paling ideal dalam menjalankan ibadah puasa. Totalitas pemaknaan ibadah puasa tidak lagi pada tataran fisik dan rohani saja. Tetapi sekaligus menembus kosmos kesadaran manusia menuju cahaya Ilahi. Ibadah puasa, bukan sekedar menahan rasa lapar dan dahaga serta hawa nafsu yang membatalkan puasa. Namun puasa level ketiga tadi adalah hanyalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.

Terus sayangnya, tidak semua pemimpin, pejabat negara, tokoh masyarakat, anggota legislatif, para pamong praja dan para aparat penegak hukum mampu puasa khusus. Kalau sudah demikian, bagaimanakah nasib pemberantasan korupsi di negeri ini nantinya?

Di sinilah perlunya pemahaman kembali makna perintah ibadah puasa secara menyeluruh. Jangan sampai ibadah puasa hanya diartikan sekedar menahan rasa lapar dan dahaga semata. Penghayatan makna ibadah puasa secara transedental yang meliputi pencerahan makna puasa fisik-batiniah, harus dibarengi perilaku sosial yang membawa pencerahan setiap makhluk hidup dan lingkungan di sekitar kita. Sehingga dengan ibadah puasa ini salah satunya menjadi wahana untuk mendidik diri tidak koruptif.

Untuk mendapatkan ibadah puasa kita tergolong puasa khusus, Imam Al Ghazali sudah memformulasikan enam langkah yang harus kita lakukan. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah.

Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran.

Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah SAW menjelaskan: Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa.

Keempat, mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Seperti mencegah tangan dan kaki dari berbuat maksiat dan mungkar, mencegah perut dari memakan yang syubhat dan haram.

Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka sampai perutnya penuh makanan. Orang yang berbuka secara berlebihan tentu tidak akan dapat memetik manfaat dan hikmah puasa. Bagaimana dia berusaha mengalahkan musuh Allah dan mengendalikan hawa nafsunya, jika saat berbuka dia justru memanjakan nafsunya dengan makanan yang terhitung banyak dan bermacam jenisnya.

Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas (khauf) dan harap (raja’), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualiti puasa yang telah dilakukan, sedangkan penuh harap berperanan dalam menumbuhkan optimisme.

Semoga puasa kita bisa masuk dalam kategori puasa khusus ini. Demikian juga puasa-puasanya warga bangsa ini. Pamong praja beserta pemimpinnya, pejabat negara, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, anggota legislatif, pengusaha, buruh dan pekerja serta semua rakyat Indonesia. Dengan puasa ramadhan yang masuk kategori puasa khusus ini maka kita bisa jadikan bekal untuk memperbaiki akhlak bangsa ini dari rongrongan korupsi yang sudah sangat kronis dan gawat ini. Sehingga setelah bulan Ramadhan nanti kita dan segenap warga bangsa bisa memetik salah satu hikmahnya yakni menurunnya angka korupsi di negeri ini. Semoga! (AM, 3 Agustus 2010)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun