Mohon tunggu...
Khotimatul Aliyah
Khotimatul Aliyah Mohon Tunggu... Lainnya - Pendidikan Non Formal

Jangan takut untuk gagal dan mencoba hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Punggung Kursi 3

12 November 2020   23:49 Diperbarui: 13 November 2020   00:03 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Part 3

Setelah hampir 30 menit berlalu, Insa masih belum mendapat panggilan juga. Ia terlihat berdiri dengan tidaak nyaman karena masalah pada kakinya. Sebenarnya tujuan ia ke rumah sakit ini adalah untuk memeriksakan pergelangan kakinya yang terkilir sejak kemarin sore. Isan telah melakukan pertolongan pertama dengan mengompres kakinya dengan es agar tidak bengkak, namun kakinya tetap membengkak dan semakin lama rasa sakitnya semakin parah.

Dengan kondisi yang seperti itu dan berdiri lebih dari 2 jam, Isna mulai merasa lelah. Kaki kirinya yang baik-baik saja mulai terasa keram dan kesemutan karena ia menumpukan berat badannya pada satu kaki saja. Isna memegang pegangan besi di dinding sambil salah satu tangannya menepuk-nepuk pelan kaki kirinya agar tidak kesemutan lagi.

Melihat itu Ali tidak tega. Sekali lagi ia melihat pada jejeran kursi berharap agar setidaknya ada satu kursi tersisa yang bisa digunakan Isna, namun semuanya masih penuh. Ia kembali menatap Isna yang masih menepuk-nepuk kaki kirinya.

"Kau mendapat antrian nomor berapa?" tanya Ali.

Isna tidak menjawab. Ia hanya menyodorkan selembar kartu kecil yang dipegangnya sejak tadi. Melihat nomor yang tertera di kartu itu, Ali menyernyit tidak suka. Kemudian ia menghembuskan napas kasar.

'Kasihan jika Isna tetap berdiri seperti itu.'

Kemudian Ali meraih tangan Isna sehingga kini gadis itu menatapnya. Melihat dia sudah diperhatikan oleh Isna, Ali tiba-tiba membungkuk dan duduk di lantai dengan memunggungi dinding, tepat di hadapan Isna. Sambil menekuk kakinya sampai ke dada, Ali menoleh ke belaakang dan mendongak menatap Isna yang terlihat kaget.

"Apa yang kau lakukan Ali? Cepat berdiri!" ucap Isna dengan memekik pelan agar setidaknya hanya mereka yang mendengarnya sambil menarik lengan Ali dengan satu tangan.

"Tidak. Kau duduklah dipunggungku," Ali tetap kukuh pada keputusannya dan tetap duduk di lantai.

"A.... apa yang kau katakan? Jangan mempermalukan dirimu sendiri. Ini tempat umum, cepat berdiri!" Isna  melepas pegangannya pada pegangan besi dan berusaha menarik lengan Ali kembali, agar pemuda itu berdiri. Namun karena kekuatannya yang memang tak ada apa-apanya dari Ali, hal itu tentu percuma karena Ali tetap duduk tanpa berubah posisi sedikit pun.

"Kamu duduk saja, aku kuat kok. Aku tahu kamu pasti lelah dan kesakitan, jadi duduk saja dipunggungku," ucap Ali dengan tegas.

Sebelum menjawab Isna melirik kesekelilingnya, "Tapi.................. ini tempat umun Al, aku malu."

Semburat merah mulai menyebar dari wajah Isna menuju leher sampai telinganya. Jika ini bukan di tempat umum, Isna dengan senang hati ia akan menjadi Ali sebagai tempat duduknya, seperti ketika mereka kanak-kanak dulu. Tapi sayang kini mereka ditempat umum, lagi pula mereka sekarang telah beranjak remaja sehingga ia merasa hal-hal seperti menduduki Ali sangat tidak pantas.

"Tak apa. Mereka pasti memakluminya," Ali kembali menyakinkannya.

Masih dengan melirik sekitar, akhirnya Isna setuju dengan berkata, "Ba...... baiklah."

Dengan ragu-ragu Isna mulai bergerak membelakangi Ali dan perlahan mendaratkan pantatnya di punggung Ali sehingga kini ia duduk layaknya di kursi, meskipun sebenarnya itu punggung seseorang.

"Argh," Isna merintih saat pertama kali mendaratkan pantatnya. Ada semacam rasa sengatan saat pantatnya ketika ia gunakan untuk duduk.

"Ada apa?" tanya Ali cemas.

"Tidak, hanya rasanya masih sakit saat aku gunakan untuk duduk."

"Hehehe...," Ali cengengesan, "Maaf untuk itu."

"Ini semua salahmu. Jika kau mau menghilangkan kebiasaan burukmu itu, aku tidak akan seperti ini."

Sambil memijat kakinya sendiri, Isna mulai mengomel pada Ali. Iya tentu saja Isna mengomel pada Ali karena kakinya terkilir itu karena kebiasaan Ali yang menyebalkan, yang mana pemuda itu hampir tidak pernah meletakkan sabun mandi pada tempatnya kembali.

Itu dimulai dari Ali yang tiba-tiba datang ke kost Isna yang hanya berbatasan dengan pagar tembok tinggi. Pemuda itu datang karena ia bilang air di kostnya tiba-tiba mati, jadi ia dengan terpaksa meminjam kamar mandi di kost Isna. 

Pada saat itu Ali tidak mengembalikam sabun pada tempatnya dan membiarkannya di pinggiran bak air yang tanpa sengaja terjatuh di lantai. Setelah itu Isna masuk ke kamar mandi dan tidak sengaja menginjak sabun yang ada dilantai yang menyebabkan dia pun terjatuh dengan pantat yang lebih dahulu mencium kerasnya lantai kamar mandi yang langsung menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa ditambah pergelangan kaki kanannya yang juga terkilir dengan rasa sakit yang hampir sama.

"Lain kali letakkan sabun pada tempatnya jangan sembarangan kau lihat apa yang kau lakukan? Aku jadi......... " Ali yang diomeli hanya bisa menjawab dengan kata  "iya" dan juga "maaf" berulang-ulang kali.

Tamat

Khotimatul Aliyah

Pendidikan Luar Sekolah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun