Mohon tunggu...
Siti Khotimah
Siti Khotimah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Menulis adalah kegiatan budaya manusia untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi, diri sejati yang tersembunyi dan bahasa yang tersembunyi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adakah Adil Dalam Poligami?

18 Maret 2023   19:50 Diperbarui: 18 Maret 2023   20:14 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perdebatan mengenai poligami menjadi masalah yang krusial sehingga menyita perhatian umat Islam, karena poligami seringkali dihubungkan dengan budaya Islam bahkan sunnah Nabi. Secara historis, praktik poligami ada semenjak zaman pra-Islam, poligami dipraktikkan secara luas di kalangan masyarakat Persia, Yunani, dan Mesir kuno, bahkan masyarakat Arab pun mempraktikkan poligami.

Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku kala itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai istri sampai ratusan. Perbedaan penafsiran terhadap ayat poligami menyebabkan perdebatan pendapat diantaranya ialah mempersoalkan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam poligami, yakni adil.  

Yang ditafsirkan dari surat al-Nisa' ayat 3, yang terjemahannya: "Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat."

Prinsip Keadilan Dalam Poligami Adalah Keharusan 

Beberapa pendapat menyatakan bahwa asas keadilan bukan hanya sekedar takaran kuantitatif saja, semacam pemberian materi atau waktu gilir antar-istri, akan tetapi mencakup pula keadilan secara kualitatif, yakni kasih sayang yang merupakan pondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga.

Pendapat ini didukung oleh golongan ulama yang menyatakan bahwa maksud adil dalam poligami adalah adil dalam segala hal, baik dalam hal materi semacam kebutuhan yang terkait dengan jaminan atau fisik, maupun dalam hal imateri (perasaan). Seorang suami dituntut adil seperti dalam hal nafkah, rumah,  kecintaan, kasih sayang, giliran menginap dan semacamnya.

Jika suami tidak mampu berbuat adil, maka tentu akan ada konsekuensinya. Ada salah satu hadist yang menurut Syaikh Al Albani hadits tersebut shahih sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1949, Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya yan miring." (HR. Abu Daud no. 2133, Ibnu Majah no. 1969, An Nasai no. 3394.)

Pendapat lain yang dikatakan oleh Sayyid Qutub, ia berpendapat bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah (keringanan), yang bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat saja. Kebolehan ini disyaratkan bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang muamalah, nafkah, pergaulan serta pembagian malam. Jadi bagi suami yang tidak bisa berbuat adil, diharuskan cukup satu saja.

Penafsiran Ayat Poligami

Penafsiran ayat 3 QS: an-Nisa secara eksplisit menegaskan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu

Bahkan ketika ayat ini turun, Rasulullah memerintahkan semua laki-laki yang memiliki lebih dari empat, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita saja.

Quraisy Syihab menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syari'at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat kondisi yang sangat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko yang buruk atau mudarat daripada manfaatnya. Karena menurut fitrahnya manusia mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan berpotensi tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga.

Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan yang sebenarnya dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan meminimalisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam keluarga monogamis.

Berbeda dengan keadaan keluarga yang poligamis, seseorang akan mudah timbul perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga.

Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan jika dalam keadaan darurat, misalnya istrinya ternyata mandul, istri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.

Hukum perkawinan yang baik adalah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan itu sendiri, yakni untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubungan jasmani antara dua jenis kelamin saja, melainkan hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk menyongsong kehidupan yang sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun