Quraisy Syihab menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syari'at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat kondisi yang sangat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko yang buruk atau mudarat daripada manfaatnya. Karena menurut fitrahnya manusia mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak tersebut akan berpotensi tinggi jika hidup dalam kehidupan keluarga.
Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan yang sebenarnya dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan meminimalisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam keluarga monogamis.
Berbeda dengan keadaan keluarga yang poligamis, seseorang akan mudah timbul perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga.
Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan jika dalam keadaan darurat, misalnya istrinya ternyata mandul, istri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.
Hukum perkawinan yang baik adalah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan itu sendiri, yakni untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubungan jasmani antara dua jenis kelamin saja, melainkan hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk menyongsong kehidupan yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H