Mohon tunggu...
Ahmad Kholiyi
Ahmad Kholiyi Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pembelajar

Namaku Ahmad Kholiyi. Aku dilahirkan di Lebak tanggal 22 Oktober 1995. Aku lahir dan besar dilingkungan keluarga yang penuh paradigma. Ayah adalah seorang kepala keluarga yang demokratis, sehingga tak mengekang anaknya dalam memperdalam jati diri masing-masing sesuai pencarian hidup kami. Ibu adalah seoranh ibu yang visioner dan punya cita-cita besar agar semua anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Kami sekeluarga dididik mandiri sejak kecil, agar terbiasa menjalani hidup apa adanya. Aku bercita-cita menjadi seorang cendikiawan. Idolaku, selain Rasulullah, ialah seorang cendikiawan humanis, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus Dur dan Sebuah Kehilangan

7 Desember 2018   15:18 Diperbarui: 7 Desember 2018   15:35 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil pembawa jenazah Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid). Sumber foto: antrafoto.com

30 Desember 2009, sembab muka para pecintanya teramat jelas di penglihatan. Tawa mereka yang terbiasa mendengarkan humor penuh nilai moral dari Gus Dur  (KH. Abdurrahman Wahid) berganti duka dan kesedihan sebab kehilangan sosok yang selalu bisa mengembangkan tawa itu.

Gus Dur wafat, meninggalkan semua orang yang mencintainya. Bendera setengah tiang serempak dikibarkan di seluruh penjuru negeri. Hari itu menjadi hari berkabung nasional. Sang mantan Presiden penyelamat transisi masa reformasi itu telah pergi menjemput ketentraman.

Tidaklah berlebihan jika kata KH. Maman Imanulhaq Faqieh dalam buku memoarnya bersama Gus Dur bahwa 'jutaan' orang melepas 'kepergian' Gus Dur. Seorang Ulama Besar, budayawan, tokoh demokrasi serta inspirator dalam melakukan perubahan dan menegakkan demokrasi, pluralisme, dan HAM (Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa & Canda Gus Dur, 2010: 2), karena yang mencintainya adalah semua manusia, bukan hanya umat Muslim, bahkan hingga umat non-muslim pun tak sedikit yang mencintai bapak humanis dari Indonesia itu.

Tentunya, mereka (yang merasa kehilangan) belum rela melepas kepergian Sang Guru Bangsa. Mereka masih ingin berlama-lama bercengkrama, mendengarkan petuahnya, mendengarkan guyonannya, menyaksikan kamus kehidupan yang tak mereka dapatkan selain darinya.

Tapi, Gus Dur adalah manusia biasa 'kullu nafsin daiqotul maut'. Semua orang akan menemui kematin,  tak terkecuali Gus Dur, pada masanya juga pasti meninggal. Akhirnya, kepergian sang pejuang kemanusiaan adalah sesuatu yang harus direlakan.

Kata Muhammad Al-Fayyadl (dalam Handbook KPG, hlm. 1) memang mudah meraba denyut kehilangan itu setelah setahun lebih kepergian Gus Dur. Di Ciganjur, tepat di peringatan haulnya, ratusan orang berkumpul dan mengadakan berbagai acara hingga dua hari suntuk, dari diskusi serius, obrolan ringan, hingga panggung seni, untuk mengenan kepergiannya (seakan dia pergi untuk dimeriahkan, tidak untuk diratapi).

Setelah kepergiannya, rasa kehilangan itu nyatanya semakin kuat. Karena yang hilang bukan saja hanya 'seorang biasa' yang meninggal dunia, melainkan seorang 'khoriqul adat' yang tak banyak manusia bisa menjadi sebagaimana Gus Dur.

Seorang yang selama hidupnya dibaktikan untuk memamusiakan mamusia, menebarkan cinta dan kasih sayang dalam mensyi'arkan agama Islam, agama yang diyakininya bahwa kunci dari Islam itu sendiri adalah sebagai 'keselamatan' atau 'kedamaian'. Ia sepenuhnya meyakini bahwa Islam adalah rahmat, tidak hanya pada umat Islam saja, namun juga bagi segenap alam, Islam yang rahmatan lil alamin.

Rahmat disini termasuk pula segala macam perbedaan 'al-ikhtilafu rahmat al-ummah'. Perbedaan yang menjadi rahmat adalah  perbedaan yang -tidak boleh- dipertentangkan, yang harus dileburkan dengan sikap toleransi antar umat manusia. Menurut Gus Dur toleransi kita diminta oleh  kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-muslim (Gus Dur: Tuhan Tidak Perlu dibela, 2011: 77).

Perbedaan dan keragaman merupakan sebuah  keniscayaan yang tidak akan pernah bisa dihindari. Perbedaan dan keragaman itu nyatanya akan menjadi sesuatu yang indah dan istimewa, yang mana antar kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.

Gus Dur yang secara 'dzhohir' memang telah pergi, tapi tetap saja -secara tidak langsung- masih membersamai kita. Bapak Humanis yang sebagian besar hidupnya dicurahkan untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia itu telah meninggalkan dan menitipkan gagasan-gagasan perjuangannya untuk selalu bisa kita teruskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun