Mohon tunggu...
Kholis Ardiansyah
Kholis Ardiansyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Study at Psychology | UIN Maliki Malang | Never Stop to #Process |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi Efektif Melihat Proses Gaya Belajar Anak

18 Juni 2015   09:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:44 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Nak, bagus sekali nilaimu hari ini?”, tanya Wanda pada anaknya.

“Ya lah buk, kan kemarin aku belajar. Ibu juga mau kasih aku hadiah kan?”, ujar Andi.

“Oh iya. Ibu ambilkan dulu ya nak.”, Wanda mengambil sesuatu dan memberikannya.

“Lohhh.. kok ini bu. Kan kemarin janjinya mau kasih mobil remot” sanggah Andi.

“Ya nak ibu minta maaf. Kemarin memang banyak pengeluaran” jelas Wanda.

“Ya udah besok gak mau masuk lagi. Males ahh..”, rengek Andi.    

Sepenggal cerita di atas memberikan gambaran pembeljaran yang sering terjadi. Khusnya di lingkungan keluarga, sekolah, dan sebagainya. Dimana anak atau pelajar di-imingi sesuatu untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Terlebih perlakuan seperti itu, sering terjadi di sekitar kita. Kritik yang terjadi, kita menuntut seseorang berorientasi pada hasil bukan pada proses. Tentu perlakuan seperti ini dimaksudkan banyak orang, untuk menjawab persaingan.

Beberapa upaya dilakukan untuk menunjang atau mengangkat prestasi siswa. Hal ini dilakukan melalui pelajaran tambahan, les belajar, atau meniadakan waktu bermain. Sehingga siswa merasa tidak bebas berekspresi, karena semakin terbatas ruang yang diberikan. Untuk menunjang agar siswa berprrestasi, orang tua atau gurucenderung memberi hadiah tertentu apabila perilaku atau prestasi bias diwujudkan siswa.

Pada perspektif behavioristik, perilaku sangat dipengaruhi lingkungan. Melalui teori Pavlov, Skiiner, Watson, dan Bandura mencoba menjawab perilaku melalui pendekatan masing-masing. Pavlov lebih pada perilaku yang dipelajari, Skinner pada pengondisian, Watson melalui trial-error dan Bandura pada aspek yang lebih berkembang, kognitif. Tetapi perilaku yang dipelajari oleh ahli behavioristic hanya menekankan pada perilaku yang dituju saja. Ketika dihadapkan pada berbagai perilaku, behavioristic tidak mampu menjawab.

Oleh karena itu, karena terlalu banyak meng-aplikasikan pada pembelajaran seakan – akan guru dan siswa kurang mampu membuka fikiran terhadap sesuatu di luar kelas. Guru cenderung terpaku pada materi atau pelajaran yang diberikan melalui modul. Sementara siswa kurang mampu menghubungkan materi dengan kehidupan sekitar. Sehingga keduanya hanya terkungkung pada media yang tersedia.

Pembelajaran pada perspektif behavior lebih banyak berakar pada eksperimen. Perilaku yang metode lebih disandarkan melalui percobaan melalui perilaku hewan laboratorium. Kemudian perilaku ini disamakan atau diterapkan pada manusia. Melalui teori evolusi, agaknya struktur otak kita kurang lebih sama dengan hewan – hewan tersebut. Oleh karena itu penerapannya dirasa mengabaikan manusia yang memiliki akal, tidak sama dengan hewan.

 

Pendekatan Lain: Belajar Kognitif

Selain itu, teori ini agaknya memerlukan pendekatan yang lebih luas untuk mendefinisikan perilaku. Pendekatan tersebut melalui penggalian potensi suatu daerah untuk mendapatkan penanaman perilaku ideal yang diinginkan.Penerapan teori ini kurang mampu mencakup keseluruhan karakteristik personal. Generalisasi yang diambil tidak berpedoman pada kebutuhan. Maka untuk mengisi kekurangan tersebut bisa dilengkapi melalui pembahasan belajar kognitif, terutama pada problem solving. Teori ini lebih pada menjelaskan proses manusia mengapa dia menyadari, bergerak, melakukan sesuatu, dan sebagainya. Dengan melihat proses, kita tentu bisa mengevaluasi langkah yang sudah kita lakukan. Tujuannya mampu terbantu dalam perkembangan kepribadian dan kemampuan, mengetahui potensi, saiap saja yang berpengaruh pada pribadi dan yang berpengaruh masa lalu: teman, lingkungan dan sebaginya Dalam pemrosesan informasi, sering terjadi permasalahan yang tak terduga maupun yang terduga. Kognitif manusia yang terbatas membuat mereka sulit untuk menginterpretasi keadaan lingkungan, diri, maupun situasi dalam kehidupannya. Maka, Problem Solving (pemecahan masalah) adlah kunci untuk mengatasi hal tersebut.

Dengan berbagai metode pemecahan, diharapkan masnusia akan mampu mempresentasi pengetahuan, memori, pencitraan, sensasi, atensi, kesadran, dan sebagainya. Problem Solving bekerja melalu pendekatan dengan cara problem identifikasi untuk ketahap syntesis kemudian dianalisis yaitu pemilahan seluruh masalah sehingga mencapai tahap application selajutnya komprehension untuk mendapatkan solution dalam penyelesaian masalah tersebut.

Selain itu, langkah – langkah pemecahan masalah mampu menjelaskan bagaimana suatu permaslahan dapat diselesaikan dengan kognitif manusia tentunya. Sehingga akan ditemukan langkah ideal untuk membuat suatu kesimpulan yang akan berguna untuk mendefinisikan atau menginterpretasi makna yang terkandung dalam sebuah informasi.

 

Problem Solving Perpektif Belajar Kognititf

Berbicara tetang memori berarti berbicara sesuatu yag sangat dekat dalam kehidupan keseharian manusia. Tanpa disadari oleh mausia, mereka telah menjalani suatu proses yang sangat rumit tentang sesuatu yang berhubunga dengan memori atau yang biasa disebut sebagai ingatan. Segala sesuatu yang dijalankan oleh manusia sangat mungkin pasti disertai dengan kerjanya memori pada diri setiap manusia. Memori tersebut dapat berupa memori jangtak pendek (Short Term Memory), memori jangka panjang (Long Term Memori), maupun jenis-jenis memori yang lebih rumit lainnya.

Dalam kajian Psikologi, memori dikaji akan kaitannya dengan proses kognitif yang ada pada diri manusia. Sedangkan kognisi adalah suatu proses memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Dalam hal ini, memori berperan dalam menyimpan informasi yang diperoleh dari proses mencari pengetahuan diatas.

Problem Solving adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan masalah dan memecahkan berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat (Hamalik, 1994:151). Problem Solving yaitu suatu pendekatan dengan cara problem identifikation untuk ketahap syntesis kemudian dianalisis yaitu pemilahan seluruh masalah sehingga mencapai tahap application selajutnya komprehension untuk mendapatkan solution dalam penyelesaian masalah tersebut. (Qruztyan. Blogs. Friendster.com)

Pemecahan masalah oleh Evans (1991) didefinisikan sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan jalan keluar atau cara yang cocok bagi tindakan dan pengubahan kondisi sekarang (present state) menuju kepada situasi yang diharapkan (future state atau desired goal). Sedangkan menurut Hunsaker, pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker, 2005).

Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu aktivitas pengambilan jalan keluar agar terjadi kesesuaian atara hasil yang diperoleh sekarang dengan hasil yang diharapkan.

Dalam perkembangannya, istilah kognitif menjadi popular sebagai salah satu wilayah psikologi manusia atau satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikirm dan keyakinan termasuk kejiwaan yang berpusat di otak juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa.

Menurut penelitian bahwa tahap-tahap perkembangan individu atau pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu. Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (Schemas) yaitu kumpulan dari skema-skema. Skema berkembang secara kronologis sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia masih kecil.

Pemantauan kognitif (cognitive monitoring) adalah proses pencatatan hal-hal yang sedang dikerjakan, apa yang akan dikerjakan kemudian, dan seberapa efektif kegiatan mental tersebut berkembang. Pemantauan kognisi selain untuk memahami dan memecahkan masalah sosial, juga penting dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan aspek non sosial dari inteligensi.

Orang tua, guru, dan teman sebaya dapat menjadi sumber yang efektif untuk meningkatkan pemantauan kognitif remaja. Pengajaran timbal balik adalah strategi pengajaran yang semakin banyak dipakai. Sedangkan Pemrosesan informasi sosial memusatkan perhatian pada cara seseorang menggunakan proses kognitifnya, seperti perhatian, persepsi, ingatan, pemikiran, penalaran, harapan dan seterusnya untuk memahami dunia sosial mereka.

Berkaitan erat dengan keterampilan pengambilan keputusan yang tepat adalah berpikir kritis. Berpikir kritis meliputi kemampuan seseorang untuk memahami makna yang mendalam dari suatu masalah, keterbukaan pikiran terhadap berbagai pendekatan atau pandangan yang berbeda, dan menentukan sendiri hal yang diyakininya. Agar pemikiran kritis dapat berkembang secara efektif, dibutuhkan dasar yang kuat dalam hal keterampilan dan pengetahuan dasar di masa kanak-kanak.

Menurut Piaget, intelegensi terditri dari tiga aspek, yaitu:

  1. Struktur (Scheme)
  2. Isi (Content): pola tingkah laku spesifik ketika individu menghadapi masalah.
  3. Fungsi (Fungtion). Dua macam fungsi invariant:
  1. Organisasi: kecapkapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk system-sistem yang saling berhubungan.
  2. Adaptasi: penyesuaian diri indivdu terhadap lingkungannya. Proses terjadi adaptasi Dari skemata telah terbentuk dengan stimulus baru yang dilakukan dengan dua cara, yaitu:
  3. Asimilasi: proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk/proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah dalam lingkungannya.
  4. Akomodasi: proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/proses perubahan respons individu terhadap stimuli lingkungan.

Dalam struktur kognitif setiap individu pasti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Pada dasarnya pekembangan kognitif adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki keseimbangan baru yang diperolehnya. Piaget mengindentifikasi empat factor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu:

  1. Kematangan
  2. Pengalaman fisik/lingkungan
  3. Transmisi social
  4. Equilibrium : Mekanisme yang diajukan piaget untuk menjelaskan cara anak berpindah dari satu tahap berpikir ke tahap berikutnya. Perpindahan terjadi ketika anak mengalami konflik kognitif atau ketidakseimbangan. Akhirnya, anak menyelesaikan konflik dan mencapai keseimbangan atau equilibrium pikiran.

 

Dalam konsep problem solving, terdapat proses penalaran induktif dan deduktif. Penalaran induktif bekerja pada penalaran umum ke khusus. Penalran deduktif sebaliknya. Selain itu, induktif digunakan sebagai logika penemuan ilmiah. Dan deduktif digunakan sebagai logika argumentasi. Keduanya mampu bekerjasama dalam proses bersamaan dalam ilmu empirik.

Dalam kehidupan sehari – hari kita bisa melihat beberapa hal yang erlu diperhatikan:

  1. Dialog penalaran yaitu komponen dari dialog argumentatif yang berupa:tuntunan permintaan atas kebenaran, sangkalan, dan sebagainya.
  2. Reifikasi yaitu suatu ide yang menganggap bahwa ide itu nyata ketika ide tersebut bersifat hipotesis atau metafora
  3. Argumen Ad Hominen yaitu argumen – argumen yang menyerang karakter seseorang dan bukan argumennya.

 

 

 

 

Referensi:

Feldman, P, O. 2009. Human Development: Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika

  1. J. Hasibuan dan Moedjiono. (2006). Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santrock, J, W. 1995. Life–Span Develompment: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Suryana, & Suryadi. 2009. Modul Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam - Kementrian Agama RI.

Suryobroto. (2009). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun