Beberapa waktu yang lalu ramai perbincangan yang dilakukan oleh masyarakat tentang kewenangan sebuah lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.Â
Mulanya perdebatan muncul setelah Menkopolhukam Mahfud MD menginformasikan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dilingkungan kementerian keuangan sebesar 300 triliun kepada publik.Â
Para anggota DPR mendalilkan bahwa tidak ada suatu kewenangan Kepala PPATK maupun Ketua Komite TPPU untuk mengungkapkan hasil temuannya kepada publik karena tidak ada pasal yang mengaturnya, namun dalil tersebut dipatahkan oleh Menkopolhukam dengan mengatakan bahwa bukan berarti tidak adanya suatu pasal didalam UU yang mengatur itu dilarang, selagi UU atau pasal tidak melarangnya maka itu boleh dilakukan sepanjang dalam pengungkapan tersebut tidak menyebut subjek hukum secara eksplisit.
Dalam hukum pidana tentu kita sangat mengetahui bahwa jika suatu perbuatan yang merupakan tidak termasuk dalam ranah pidana maka pelaku atau tersangka tidak dapat dipidana karena tidak ada pasal yang mengaturnya.Â
Dari perpektif ketatanegaraan suatu UU bertujuan untuk menentukan apa yang wajib dilakukan oleh subjek hukum selaku pejabat yang mempunyai kewenangan disuatu lembaga.Â
Esensinya semua tugas pokok dan fungsi kelembagaan negara wajib dimuat didalam suatu peraturan (regeling) dengan maksud mempertegas mana-mana saja yang termasuk kewenangan pejabat tersebut.Â
Jika suatu perbuatan pejabat publik yang dilakukannya secara konkret namun tidak ada pasal demikian yang mengaturnya atau bahkan melarangnya itu tidak bisa dikategorikan sebagaimana bukan kewenangannya apabila yang dilakukan oleh pejabat a quo masih dalam orientasi yang rasional.
Seperti contoh misalnya seorang Hakim yang sedang dalam perjalanan menuju kantornya ia terjebak kemacetan dipersimpangan lalu ia melakukan pengaturan lalu lintas dipersimpangan jalan raya tersebut.Â
Jika kita nilai berdasarkan mazhab positivisme maka tidak akan ditemukan didalam UU Kekuasaan Kehakiman untuk diperbolehkan mengatur lalu lintas jalanan yang macet karena tidak ada Pasal yang mengaturnya. Tetapi karena ia melihat tidak ada Polantas yang bertugas pada waktu itu makai ia berinisiatif untuk melakukannya.Â
Pertanyaannya apakah itu dilarang? Tentu tidak. Lalu apa yang dilarang? Misal seorang hakim memerintahkan kepada semua pengguna jalan untuk menepi dan memberikan jalan kepada hakim tersebut. Padahal tidak ada suatu kewenangan yang diberikan oleh UU untuk memberikan jalan terlebih dahulu terhadap seorang hakim.Â
Apakah ada satu pasal dari UU Kehakiman yang memerintahkan jika seorang hakim sedang dalam perjalanan menuju kantor untuk lebih diutamakan diberikan jalan? Tentu tidak dan secara legal reasoning pendapat itu bisa langsung dibantah karena sangat tidak logis dari kewenangan seorang Hakim.
Jadi pada dasarnya bukan berarti tidak ada Pasal yang mengaturnya maka perbuatan itu dikategorikan sebagai tindakan yang dilarang selama masih dalam orientasi yang mendekati kewajaran apalagi demi kepentingan bangsa dan hukum itu tidak harus tertulis didalam sebuah Pasal apalagi Negara kita mengakui living law (hukum yang hidup didalam masyarakat).Â
Jika suatu bangkai yang sudah tercium bau busuknya tetapi tidak ada satu orangpun yang berani untuk mencari dimana asal bau bangkai itu tercium maka selamanya orang-orang yang berada didekat dengan bangkai itu akan menjalani hal yang serupa, yakni sama-sama menjadi bangkai yang akan dibuang pada waktunya.
Dalam hakikat hukum yang menjadi kajian filsafat dikenal beberapa aliran atau mazhab tentang hukum diantaranya ada aliran hukum alam, aliran hukum positif, aliran hukum murni, aliran utilitarianisme , aliran sejarah, aliran sociological jurisprudence, aliran realisme hukum, aliran antropologis dan aliran hukum islam.Â
Dari beberapa mazhab tersebut semua memiliki jawabannya masing-masing tentang bagaimana menyikapi bahwa hukum itu tak selalu identik dengan sebuah pasal seperti misalnya salah satu diantaranya menurut paham mazhab hukum sociological jurisprudence yang memiliki pandangan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang artinya hukum itu memuat penggolongan atas kepentingan yang dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan umum atau kepentingan negara sebagai badan hukum.Â
Menurut aliran ini hanya hukum yang mampu menghadapi ujian akal dapat hidup terus. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup. Berbeda dengan mazhab positivisme yang mengatakan dengan tegas bahwa hukum itu adalah hukum yang termuat dan tertulis dalam sebuah nashkah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang sehingga sangat sempit untuk diterapkan dalam konsep kepentingan negara.
Kesimpulannya adalah Sebagian anggota DPR terlalu kaku memahami tentang konsep sebuah hukum yang sangat normatif hanya berdasarkan suatu Pasal saja. Apa yang dilakukan oleh Ketua Komite TPPU itu diluar dari paham positivisme sehingga tindakan tersebut walau tak ada Pasal yang mengaturnya tetap dapat diperbolehkan selagi tindakan pejabat tersebut memiliki tujuan yang baik yakni untuk menyelamatkan perekonomian sebuah negara dan membongkar kasus besar untuk segera mempidanakan semua yang terlibat dalam kasus ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H